Seniman Ini Sebut Produk Seni Rupa Bisa Jadi Jaminan Utang Sebagai Aturan Absurd, Kenapa?
Reporter
magang_merdeka
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 28 Oktober 2022 07:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Seniman FX Harsono menilai aturan yang memungkinkan produk kekayaan intelektual, termasuk seni, menjadi objek jaminan utang bagi lembaga keuangan bank dan nonbank sebagai hal yang tak masuk akal. Ia bahkan menyebut aturan itu absurd, khususnya bila diterapkan untuk produk seni rupa.
Sebab, kata Harsono, hingga kini belum ada standar yang jelas dari seorang seniman dalam memberikan harga. "Seniman bahkan cenderung tidak terbuka mengatakan harga karyanya kepada publik," ujarnya dalam diskusi Karya Seni Rupa Sebagai Jaminan Fidusia di Jakarta Selatan, Kamis 27 Oktober 2022.
Aturan yang ia sorot adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana UU Ekonomi Kreatif. PP yang disahkan pada 12 Juli 2022 tersebut terus menjadi topik hangat di kalangan seniman di Tanah Air.
Baca: Jokowi Teken PP Ekonomi Kreatif, Kekayaan Intelektual Bisa jadi Jaminan Utang di Bank
Menurut Harsono, dengan kekhususan sifat seni rupa itu, para seniman akan kesulitan saat mengajukan karyamya untuk jadi jaminan utang bagi lembaga keuangan bank maupun nonbank. Berbeda halnya dengan seni musik, film, atau penerbitan, yang ukurannya lebih jelas.
“Untuk seni rupa, saya tidak bisa membayangkan sebuah karya seni bisa ditentukan harganya oleh suatu lembaga,” ujar Harsono.
Lebih jauh, kata Harsono, penentuan harga karya seni rupa selama ini tidak memiliki mekanisme khusus. Sebuah lembaga lelang bisa terbilang paling terbuka dalam menjelaskan harga suatu seni rupa. Namun harga tersebut juga tidak bisa dipakai untuk pegangan untuk menilai produk seni rupa lainnya.
Dengan begitu, ia menilai akan sangat sulit bagi perupa untuk menjadikan kekayaan intelektualnya sebagai jaminan fidusia. Sebab, tidak ada mekanisme yang pasti terkait penentuan harga karya seni dan faktor pertimbangannya.
Sebelum benar-benar diterapkan, Harsono menyatakan semestinya harus melakukan sosialisasi dan berdiskusi dengan berbagai pelaku seni di Indonesia. Dengan demikian, seniman akan mengerti bahwa peraturan tersebut bisa diaplikasikan.
Selanjutnya: “Setiap kesenian berbeda-beda. Berbeda cara memproduksinya, memasarkannya,..."
<!--more-->
“Setiap kesenian berbeda-beda. Berbeda cara memproduksinya, memasarkannya, target pasarnya, dan seterusnya. Oleh karena itu, satu aturan tidak bisa dipakai untuk semua kegiatan kesenian,” tutur Harsono.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana UU Ekonomi Kreatif. Beleid ini mengatur enam aspek, salah satunya pembiayaan alias kredit untuk pelaku ekonomi kreatif.
"Pembiayaan berbasis kekayaan intelektual diajukan oleh pelaku ekonomi kreatif kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan nonbank," demikian bunyi Pasal 7 ayat 1, dalam beleid yang diteken Jokowi pada 12 Juli 2022 tersebut.
Kekayaan Intelektual yang dimaksud adalah kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan karsanya yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahltan, seni, dan sastra.
Kemudian, pelaku ekonomi kreatif bisa mengajukan kredit berbasis kekayaan intelektual tersebut. Ada empat syarat yang harus dipenuhi, yakni:
1. Proposal pembiayaan
2. Memiliki usaha ekonomi kreatif
3. Memiliki perikatan terkait kekayaan intelektual produk ekonomi kreatif
4. Memiliki surat pencatatan atau sertifikat kekayaan intelektual
Bank atau lembaga nobank kemudian melakukan verifikasi sampai pencairan pinjaman atau utang. Kekayaan intelektual pun dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang, seperti yang tertuang di Pasal 9 ayat 1.
NABILA NURSHAFIRA | FAJAR PEBRIANTO
Baca juga: Utang Pemerintah Naik Lagi, Kini Per September 2022 Rp 7.420 Triliun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.