Pakar UGM Pesimistis PLTU Bakal Pensiun Dini, Ini Sebabnya
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 19 Oktober 2022 19:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Gadjah Mada atau UGM Fahmy Radhi pesimistis Indonesia bisa membuat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara pensiun dini. Alasannya adalah karena penggantinya yaitu energi baru terbarukan (EBT) belum siap diterapkan.
"Terus terang saya pesimistis (PLTU bisa dipensiundinikan). Sampai sekarang PT PLN juga dunia usaha belum melakukan transisi. Kalau kita lihat target pencapaian bauran energi itu kan baru 16 persen, sementara targetnya itu 23 persen apakah pada tahun 2025 ini akan tercapai?" ujar dia dalam acara virtual Tempo Energy Day 2022 pada Rabu, 19 Oktober 2022.
Fahmy menilai secara teknis pun transisi ke EBT juga akan menimbulkan masalah baru karena kapasitas produksi tidak sama. Dia mencontohkan, misalnya sudah siap menggunakan EBT, maka kapasitas produksi juga harus sesuai dengan yang PLTU yang dipensiunkan tadi.
Baca: Pelaku Usaha Bicara Kesiapan dan Tantangan Transisi Energi Terbarukan RI
Dia juga mengkritisi langkah PLN yang menjual salah satu PLTU batu bara ke Bukit Asam baru-baru ini. Menurut Fahmy, PLN bukan mengurangi penggunaan PLTU batu bara atau memansiunkan, tapi hanya memindahkan beban saja ke Bukit Asam karena masih menggunakan energi kotor.
"Sehingga secara total itu tidak akan tercapai juga pengurangan atau pengalihan dari PLTU yang menggunakan batu bara, hanya dipindahkan ke Bukit Asam. Ini saya kira kalau tujuannya adalah untuk mengurangi PLTU energi batu bara juga tidak tepat juga. Itu yang mebuat saya terus terang pesimistis," ucap Fahmy.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo alias Jokowi telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan beleid tertarikh 13 September 2022 itu memuat ketentuan khusus.
Salah satunya, kata dia, bagaimana Indonesia memprioritaskan pembangkit listrik yang berbasis energi terbarukan. Selain itu, menghentikan pembangunan pembangit listrik tenaga uap (PLTU).
<!--more-->
“Di dalam Perpres ini disebutkan secara jelas bahwa Indonesia tidak akan membangun PLTU yang baru, kecuali ada berapa yang di situ disebutkan. Kecuali yang sudah dalam rencana,” ujar dia dalam konferensi pers virtual pada Jumat, 7 Oktober 2022.
Sehingga, dia melanjutkan, pembangunan PLTU yang sudah ada di dalam proyek strategis nasional, yang memberikan kontribusi strategis besar secara nasional, tetap dilaksanakan. “Di belakangnya juga disebutkan bahwa dalam waktu 10 tahun kompensasi emisi gas rumah kacanya harus turun minimal 35 persen,” tutur Dadan.
Dalam Perpres Nomor 112 Tahun 2022 disebutkan rincian PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini. Aturan tersebut termaktub dalam Pasal 3 ayat 4 huruf a. Dalam beleid tersebut, Jokowi mengecualikan pelarangan pengembangan PLTU baru untuk kondisi tertentu.
Pertama, PLTU terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam, termasuk proyek stratregis nasional (PSN) yang berkontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja atau pertumbuhan ekonomi nasional.
Kedua, PLTU yang berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun sejak pembangkit itu beroperasi. Patokan dasar yang digunakan ialah rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada 2021 melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan. Ketiga, PLTU yang beroperasi paling lama sampai 2050.
Baca juga: Terkini Bisnis: Jokowi Sebut Wajib Bersyukur Ekonomi Tumbuh, Chatib Basri Beberkan Risiko Resesi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini