Cerita Pengusaha Warteg Lebih Khawatir Resesi Dibarengi Pandemi: Daya Beli Empot-empotan
Reporter
Riri Rahayu
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 14 Oktober 2022 11:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Koordinator Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni, enggan khawatir berlebihan menghadapi ancaman resesi global tahun 2023. Ia lebih memilih untuk tetap optimistis, apalagi di masa krisis moneter 1998 silam, para pengusaha warteg sudah berpengalaman dan bisa melaluinya.
Mukroni mengaku lebih khawatir jika krisis akibat pandemi Covid-19 tak kunjung berakhir. Bahkan, menurut dia, pada krisis tahun 1998 yang lalu belum seberapa dampaknya ketimbang pandemi yang memaksa pembatasan sosial dan akhirnya membuat banyak pedagang warteg gulung tikar.
Dari pengalaman lebih dari dua dekade itulah, kata Mukroni, para pengusaha warteg belajar. Ia pun yakin bisnis kuliner bakal tetap bertahan.
Baca: Sebut Perbankan hingga Pasar Modal Siap Kawal Ekonomi 2023, OJK: Kondisinya Lebih Sehat
Orang-orang tetap akan menjadikan warteg sebagai alternatif konsumsi lantaran harganya yang murah. “Tapi ketika pandemi kan hebat sekali. Hampir semua tutup karena ada pembatasan sosial,” ujar Mukroni ketika dihubungi, Jumat, 14 Oktober 2022.
Oleh karena itu, alih-alih takut pada ancaman resesi global, Mukroni justru lebih khawatir dengan ancaman pandemi Covid-19. Ia pun berharap wabah Covid-19 tidak lagi mengganggu kehidupan perekonomian di Indonesia.
“Jika krisis global ini disertai pandemi, tentunya ini sulit dan ancaman berat untuk pedagang warteg,” kata Mukroni. “Dan tentunya kami tidak siap seperti dulu, karena daya beli masyarakat juga sekarang lagi empot-empotan."
Selanjutnya: Jika rupiah terus jeblok, harga elpiji 3 kilogram dikhawatirkan naik.
<!--more-->
Meski begitu, ada satu hal yang turut menjadi perhatian Mukroni atas ancaman resesi global yang mulai dirasakan di dalam negeri yakni pelemahan kurs rupiah. Ia pemerintah bisa menjaga agar kurs rupiah tak terus-terusan jeblok terhadap dolar AS karena bisa berimbas pada harga gas elpiji 3 kilogram yang menjadi kebutuhan pokok warteg. "Kowantara berharap tidak ada kenaikan harga LPG subsidi 3 kilogram," kata dia.
Mengenai potensi resesi global ini, sebelumnya Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kondisi krisis ekonomi yang dialami dunia saat ini lebih mirip resesi 1970 ketimbang krisis 1998 dan 2008.
“Kondisi krisis saat ini lebih mirip resesi 1970 dibandingkan dengan (krisis moneter) 1998 dan 2008. Tahun 1998, krisisnya regional hanya kawasan Asia. Sementara tahun 2008 penyebabnya adalah kredit perumahan AS atau krisis sektor keuangan," kata Bhima ketika dihubungi oleh Tempo melalui pesan WhatsApp, pada Kamis, 6 Oktober 2022.
Sedangkan pada 1970, dunia dilanda krisis minyak karena perang teluk. Walhasil, berbagai negara di dunia mengalami gejolak inflasi. Di Indonesia, krisis itu juga sekaligus menandai transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.
RIRI RAHAYU | DEFARA DHANYA PARAMITHA
Baca juga: Ekonomi Global Penuh Tangangan, Sri Mulyani Sebut Aksi Nyata Negara G20 Sangat Dibutuhkan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.