Kemenkeu Kaji Pengenaan Cukai Minuman Boba dkk untuk Cegah Obesitas
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Francisca Christy Rosana
Jumat, 30 September 2022 06:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, buka suara ihwal wacana pengenaan cukai pada minuman manis atau minuman bergula dalam kemasan (MBDK). Ia mengatakan kebijakan cukai memang domain Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Namun, menurut Undang-undang Cukai dan Undang-undang Nomor 7 tahun 2021, setiap pengusulan objek cukai baru, ekstensifikasinya harus didiskusikan dengan komisi XI DPR RI.
"Itu hal baru yang sebelumnya diatur cukup dimasukan ke dalam RAPBN. Sekarang harus dikonsultasi supaya mendapat pertimbangan dari publik lebih luas," ujarnya dalam diskusi di Twitter Space yang diadakan oleh Change.org pada Kamis, 29 September 2022.
Ia mengatakan, Kemenkeu melalui Ditjen Bea Cukai dan Badan Kebijakan Fiskal, juga sudah lama melakukan kajian soal ekstensifikasi cukai terhadap minuman manis dalam kemasan ini. Kajian sudah dibuat cukup mendalam, katanya, dan sudah didiskusikan dengan kementerian teknis, seperti Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian. "Kami rasa penting agar mendengarkan berbagai masukan," ucapnya.
Dari berbagai masukan itu, pemerintah sepakat kebijakan cukai merupakan hal penting. Ini bersamaan dengan wacana memperluas objek cukai ke plastik. Wacananya pun sudah dibicarakan dalam beberapa kali rapat.
Namun di tengah perjalanan, menurut Prastowo, pemerintah menghadapi tantangan pemulihan ekonomi. Ia berujar, pandemi selama dua tahun terakhir memberikan pukulan terhadap semua sektor sehingga Kemenkeu perlu memperhitungkan momentum penerapan kebijakan cukai terhadap objek baru tersebut.
"Apakah tepat saat ini dikenakan mengingat semua sedang berada di fase pemulihan ekonomi, termasuk industri, masyarakat, dan lain sebagainya," tutur Prastowo.
Kendati begitu, ia menegaskan pemerintah telah sepakat bahwa cukai menjadi instrumen yang penting dalam mengendalikan konsumsi gula di masyarakat. Karena bagaimana pun, ujar dia, dampak dari minuman manis itu sangat besar bagi kesehatan masyarakat.
Tantangan lain yang diungkap Prastowo adalah aspek skala industrinya. Ia mengungkapkan minuman manis tak hanya diproduksi oleh industri besar atau pabrik. Justru, banyak minuman manis yang tidak terkontrol kadarnya dan dikonsumsi oleh masyarakat secara luas diproduksi oleh industri kecil. Terlebih, produk tersebut tak terkontrol oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM.
"Ini yang kita jumpai. Nah bagaimana ini kita atur dulu. Kita dulu punya cukai gula tahun 1996, lalu dihapus karena berbagai pertimbangan. Sekarang, ada pertimbangan baru," kata Prastowo.
Kemudian, tantangan lain adalah penentuan di mana cukai itu akan dikenakan dan bagaimana cara mengevaluasinya. Ia menyebut, di 39 negara yang telah menerapkan cukai atas minuman manis, banyak di antaranya yang mengecualikan produk susu, jus, hingga healthy drink karena dianggap bermanfaat untuk kesehatan. Opsi itu juga tengah dipikirkan matang-matang oleh Kemenkeu bersama dengan Kementerian Kesehatan.
"Nah sekarang kita berproses di level itu, sambil mempertimbangkan pemulihan ekonomi, kita pertajam formulasinya supaya tepat sasaran," ujarnya.
Ia berharap jangan sampai kebijakan cukai itu malah membuat minuman manis yang tadinya sudah resmi tercatat secara formal menjadi informal. Imbasnya, produk itu bisa sulit diawasi. Selain itu, pemerintah tengah memikirkan bagaimana cara mengintegrasikan produk minuman manis dari industri informal agar bisa diawasi dan dikenakan cukai. Dengan demikian, tujuan untuk menurunkan konsumsi bisa tercapai.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca juga: Menko Airlangga Klaim Hilirisasi Pertanian Berhasil Naikkan Nilai Ekspor
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini