Pemerintah Terus Genjot Infrastruktur, Ekonom Soroti Dampaknya ke Neraca Perdagangan
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 17 September 2022 14:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyoroti pemerintah yang hingga kini masih terus menggenjot pembangunan infrastruktur. Ia menilai pembangunan infrastruktur akan kian mendorong ketergantungan yang besar terhadap impor besi, baja, dan mesin. Akibatnya, neraca perdagangan bakal terbebani.
Walaupun saat ini Indonesia masih beruntung karena defisit perdagangan bisa ditutup dengan kenaikan harga komoditas, menurut Bhima, harus diwaspadai ketika siklus harga mulai berbalik.
"Ketika booming harga komoditasnya turun, maka banyak infrastruktur yang menjadi beban bagi defisit impor. Yang terakhir adalah utilitas," ujarnya saat dihubungi Tempo, Jumat, 16 September 2022.
Selain itu, ia menyebut ada masalah dalam pembangunan infrastruktur yakni efektivitas proyek yang tak sesuai dengan harapan.
Buktinya, biaya logistik yang seharusnya turun akibat adanya infrastruktur, nyatanya masih cukup tinggi berkisar 23,5 dari produk domestik bruto (PDB). Di lapangan juga tak terlihat penurunan biaya secara signifikan.
"Padahal tujuan awal infrastruktur itu meningkatkan konektivitas dan menurunkan biaya logistik, karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan biaya logistik yang paling mahal di kawasan," ucapnya.
Persoalan lainnya, menurut Bhima, adalah daya saing dan efisiensi investasi. Dengan pembangunan infrastruktur yang cukup masif, Incremental Capital Output Ratio Indonesia berada di tingkat delapan. Artinya berinvestasi di Indonesia semakin boros.
Selanjutnya: BUMN dalam kondisi berdarah dikorbankan untuk bangun infrastruktur.
<!--more-->
Penugasan-penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karya dalam membangun infrastruktur juga membuat likuiditas perusahaan pelat merah itu terganggu. Bahkan ada BUMN karya yang rasio utangnya sudah enam kali. Padahal, batas maksimum rasio yang wajar adalah 3,5 kali.
"Jadi BUMN karya dalam kondisi yang cukup berdarah untuk dikorbankan dalam pembangunan infrastruktur," kata Bhima.
Selain itu, pembangunan infrastruktur cukup menyedot likuiditas dari perbankan. Padahal, dana itu seharusnya bisa untuk membiayai kegiatan produktif lainnya yang memang tepat sasaran dan langsung berkaitan dengan daya saing misalnya pelaku usaha domestik.
Bhima juga menyoroti pemanfaatan infrastruktur menurut yang kerap tidak tepat sasaran. Hal ini terlihat dari beberapa bandara yang sepi penumpang, tetapi tetap dipaksakan dibangun. Begitu juga okupansi jembatan tidak sesuai harapan dan tingkat utilitasnya relatif rendah.
Baca: Tolak Kenaikan Harga BBM, Puluhan Ribu Buruh Akan Terus Demo hingga Puncaknya 4 Oktober
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.