Piutang Negara Tembus Rp 170,23 Triliun, Paling Banyak dari Kasus BLBI
Reporter
Arrijal Rachman
Editor
Francisca Christy Rosana
Jumat, 16 September 2022 16:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan mencatat total piutang negara yang sudah diurus Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) sebanyak Rp 170,23 triliun. Sebagian besar berasal dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Grossnya saja adalah Rp 170,23 triliun, sebagian besar piutang BLBI. Piutang BLBI sektiar Rp 150 triliun, ini grossnya," kata Direktur Perumusan Kebijakan Kekayaan Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Encep Sudarwan saat diskusi virtual pada Jumat, 16 September 2022.
Encep mengatakan total piutang tersebut berasal dari Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) aktif yang diurus oleh PUPN. Hingga September 2022, jumlah berkas masuk itu mencapai 45.524.
Walaupun dari sisi nominal mendominasi, Encep mengatakan total berkas yang berasal dari para debitur kasus BLBI hanya sepertiga atau 13.600 berkas dari total berkas yang sudah masuk. Kata Encep, berkas piutang ini bukan hanya debitur yang besar-besar.
"Ya itu dari yang kecil-kecil, jadi kalau mengenal obligor bukan yang triliun saja, ada juga utang-utang kecil. Ada yang ratusan, puluhan juta juga ada. Yang ribuan itu yang ratusan, puluhan juta," ucap Encep.
Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021 yang telah di audit, keseluruhan piutang yang tercatat hingga 31 Desember 2021 sebesar Rp 454,21 triliun secara bruto. Angka ini naik dibandingkanpada akhir 2020 yang sebanyak Rp 326,31 triliun.
Dengan besarnya angka piutang ini, pemerintah memperkuat peranan PUPN untuk menagih hak negara terhadap orang-orang yang tidak membayar utang-utangnya kepada negara. Ini dilakukan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2022.
Salah satu klausul PP itu mengatur upaya-upaya pembatasan keperdataan maupun penghentian layanan publik kepada debitur. Penghentian layanan ini berlaku bagi orang yang mampu membayar utangnya ke negara, tapi tidak cepat memenuhi kewajibannya.
"Kita membatasai orang-orang itu yang tentu saja ini selektif ya, dengan data akurat, orang-orang yang sebenarnya mampu bayar," ujar Encep.
Layanan publik yang akan dihentikan itu, misalnya, debitur yang belum menyelesaikan utang bakal dibatasi akses keuangannya. Walhasil, mereka tidak boleh mendapatkan kredit atau pembiayaan dari lembaga jasa keuangan.
Mereka juga tidak bisa membuka rekening maupun mendirikan perusahaan lembaga jasa keuangan, termasuk menjadi pengurusnya. Selain itu, layanan publik di bidang keimigrasian dibatasi.
Debitur tidak bisa mendapatkan layanan penerbitan paspor, visa, dan lainnya, termasuk perpanjangan kartu itu. Penghentian layanan juga akan berlaku untuk bidang perpajakan, kekayaan negara, PNBP, maupun kepabeanan.
Tidak sampai di situ, layanan kependudukan bagi pemilik utang yang tidak pernah membayar kewajibannya akan dihentikan pula. Misalnya, pengurusan surat domisili dan SKCK. Layanan publik di bidang perizinan juga dihentikan seperti pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) hingga pembatasan pelayanan surat izin mengemudi (SIM).
Kemudian, layanan bidang agraria dan tata ruang juga akan disetop. Dengan demikian, mereka tidak lagi bisa mengurus pendaftaran hak atas tanah atau bangunan. Pembatasan layanan publik ini diatur secara rinci dalam Pasal 49, sampai Pasal 51 PP Nomor 28 Tahun 2022.
Baca juga: Pinjol Ilegal yang Beroperasi di RI Ternyata dari Amerika hingga Hong Kong
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.