Harga BBM Naik, Ekonom: Konsumen Ibaratnya Jatuh Tertimpa Tangga Berkali-kali
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 3 September 2022 20:39 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kenaikan harga BBM subsidi per hari ini telah diumumkan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat.
"Terutama jenis Pertalite. Masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10 ribu per liter," ucapnya kepada Tempo pada Sabtu, 3 September 2022.
Dampaknya, kata Bhima, Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya laju inflasi yang signifikan tetapi tidak dibarengi dengan terbukanya kesempatan kerja.
Bhima menjelaskan persoalan ini bukan hanya soal harga energi dan kenaikan biaya transportasi kendaraan pribadi. Sebab, hampir semua semua sektor usaha akan terdampak dari kenaikan harga BBM ini.
Ia mencontohkan biaya pengiriman bahan pangan yang akan naik. Di saat bersamaan, pelaku sektor pertanian mengeluhkan biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk.
Bhima juga menyoroti tingkat inflasi bahan makanan yang masih tercatat tinggi pada Agustus yakni 8,55 persen secara year on year. "Ini bakal makin tinggi," kata dia.
Dalam hitungannya, ia memperkirakan inflasi pangan akan kembali menyentuh double digit atau di atas 10 persen per tahun pada September ini. Sementara itu, ia memperkirakan inflasi umum bisa menembus di level 7 sampai 7,5 persen hingga akhir tahun.
Akibatnya, menurut Bhima, lonjakan inflasi bakal memicu kenaikan suku bunga secara agresif. "Konsumen ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali-kali. Belum sembuh pendapatan dari pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman," ucapnya.
Selanjutnya: "Kenaikan harga merupakan mekanisme paling tak kreatif."
<!--more-->
Alih-alih membatasi penggunaan BBM subsidi khususnya solar subsidi yang selama ini salah sasaran, Bhima menyayangkan pemerintah malah langsung menaikkan harga BBM. "Kenaikan harga merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif."
Pembatasan konsumsi Pertalite, menurut dia, juga akan sulit tercapai. Karena dengan keputusan menaikkan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter, masih ada selisih yang cukup besar dengan Pertamax yang itu naik menjadi Rp 14.500 per liter. Akibatnya, pengguna Pertamax diperkirakan bakal beralih menggunakan Pertalite.
Sementara itu, masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekalipun akan mengurangi konsumsi barang lainnya karena terpengaruh kenaikan harga BBM.
Sejumlah industri pun harus berpikir ulang, mengubah strategi usahanya karena kebijakan pemerintah itu. Sebab, BBM merupakan kebutuhan mendasar, dan pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan, minuman, hingga logistik akan terdampak.
Kemungkinan terburuk, menurut Bhima, pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan akan mengambil jalan pintas dengan melakukan PHK massal. "Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya," ucapnya.
Akibatnya, jumlah orang rentan miskin yang tak termasuk dalam daftar penerima bantuan langsung tunai (BLT) BBM bakal cukup besar. Sebab, ada penambahan orang miskin usai kenaikan harga BBM subsidi tersebut. Apalagi bantalan sosial yang disiapkan pemerintah hanya melindungi orang miskin dalam waktu empat bulan dan tidak akan cukup dalam mengkompensasi efek kenaikan harga BBM.
Baca: Harga BBM Naik, Erick Thohir Telepon Direksi Pertamina Minta Bersiaga 3 Hari ke Depan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.