Risiko Stagflasi Naik, BI Sebut Depresiasi Rupiah Lebih Rendah Ketimbang Malaysia hingga Thailand
Reporter
Riani Sanusi Putri
Editor
Francisca Christy Rosana
Senin, 25 Juli 2022 17:13 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) IGP Wira Kusuma menuturkan tekanan inflasi global terus meningkat seiring dengan tingginya harga komoditas akibat berlanjutnya gangguan rantai pasokan.
"Hal itu sejalan dengan ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina yang terus berlangsung serta meluasnya proteksionisme, terutama soal pangan," kata Wira di Jakarta pada Senin, 25 Juli 2022.
Berbagai negara, terutama Amerika Serikat, merespons peningkatan inflasi dengan pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif. Kondisi ini menahan pemulihan ekonomi dan meningkatkan risiko stagflasi.
Wira menuturkan tekanan inflasi yang terus meningkat di tengah perlambatan perekonomian global akhirnya mendorong ketidakpastian pasar keuangan global. Menurut dia, ketidakpastian pasar membuat aliran modal asing terbatas. Selain itu, situasi ini telah menekan nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ia menyebutkan nilai tukar rupiah pada 20 Juli 2022 terdepresiasi 0,60 persen (ptp) dibandingkan dengan akhir Juni 2022. Sedangkan secara year to date, rupiah terdepresiasi 4,90 persen.
Walau terdepresiasi, posisi mata uang garuda masih relatif lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Malaysia tercatat mengalami depresiasi lebih tinggi, yakni 6,41 persen. Kemudian, India 7,07 persen dan Thailand 8,88 persen.
BI pun melihat volatilitas nilai tukar rupiah juga masih terjaga di tengah pengetatan kebijakan moneter di berbagai negara. Musababnya, pengetatan yang dilakukan negara-negara itu sengaja dilakukan untuk menekan risiko ledakan inflasi dan kekhawatiran pelambatan ekonomi global.
"Ke depan, Bank Indonesia akan terus perkembangan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makro ekonomi," tuturnya.
Baca: Bank Indonesia Catat DPK Juni 2022 Tumbuh 8,9 Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.