Ini Alasan Sri Mulyani Yakin Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tembus 5,3 persen

Jumat, 24 Juni 2022 09:50 WIB

Gestur Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat memberikan keterangan pers tentang realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 per akhir Oktober 2019 di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin, 18 November 2019. Sri Mulyani mengatakan, secara tahunan belanja negara hanya tumbuh sebesar 4,5 persen, jauh lebih rendah jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang tumbuh 11,9 persen. TEMPO/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2022 bakal berkisar 4,8 hingga 5,3 persen.

"Dengan aktivitas yang sangat kuat, kita akan lebih optimistis pertumbuhan ekonomi di kuartal II masih akan sangat kuat di sekitar 4,8-5,3 persen dengan titiknya mungkin di sekitar 5," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita pada Kamis, 23 Juni 2022.

Keyakinannya berangkat dari bergeraknya perekonomian terlihat dari tingkat konsumsi dan aktivitas masyarakat mulai meningkat. Dari sisi produksi ada peningkatan yang menandakan investasi dan ekspor Indonesia mulai tumbuh tinggi. Walau impor tumbuh cukup tinggi, namun neraca perdagangan masih mencatatkan surplus.

Oleh sebab itu, Sri Mulyani menyebut dari sisi pertumbuhan ekonomi, agregat permintaan pertumbuhan ekonomi mulai didorong dari konsumsi rumah tangga, investasi dalam bentuk berbagai macam ekspansi kapasitas dan juga dari sisi sektor eksternal.

"Ini tentu menggembirakan karena pertumbuhan ekonomi tidak lagi tergantung hanya dari sisi APBN," kata Sri Mulyani.

Saat ini, kata Sri Mulyani, APBN telah bergeser menjadi instrumen untuk menjaga agar syok bisa diredam. Artinya, APBN bukan lagi sebagai lokomotif utama pertumbuhan ekonomi.

"Karena sekarang mesin pertumbuhan sudah mulai menyala di konsumsi, investasi dan ekspor," kata Sri Mulyani.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sebelumnya menyatakan pentingnya bauran kebijakan dalam mengendalikan inflasi. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas.

"Pengendalian tingkat inflasi tidak dapat hanya mengandalkan salah satu kebijakan dari satu sisi, perlu ada bauran kebijakan dalam mengendalikan dan memitigasi risiko tantangan inflasi di 2022," tulis Indef dalam keterangan tertulisnya, pada 16 Juni 2022 lalu.

Kebijakan pengendalian harga-harga dari sisi moneter, menurut Indef, perlu didukung oleh kebijakan pengelolaan keuangan negara yang tepat sasaran dan efisien. Dukungan ongkos pembiayaan yang murah juga diperlukan guna meningkatkan produktivitas ekonomi.

<!--more-->

Selain itu, dalam mengendalikan inflasi, Indef menyatakan diperlukan kerja sama global, di antaranya dengan pengelolaan beban utang akibat peningkatan suku bunga acuan. Langkah ini dimaksudkan untuk membantu negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah.

Di lain sisi, dukungan terhadap pembiayaan juga perlu dilakukan. "Mitigasi risiko capital outflow terutama di negeri-negara emerging market serta penyediaan likuiditas tambahan seperti melalui komitmen Special Drawing Rights (SDR) US$ 100 miliar sebagaimana yang akan dibahas dalam G20 International Financial Architecture Working Group (IFA WG) perlu dilakukan.

Indef juga menyoroti mendesaknya upaya menurunkan eskalasi ketegangan geopolitik di tingkat global. Hal tersebut perlu didorong agar dapat menekan peningkatan harga energi dan harga komoditas lainnya.

Sebelumnya, sejumlah lembaga internasional ini mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global di April 2022. Selain Dana Moneter Internasional atau IMF dan Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global ke level yang lebih rendah, yaitu dari 4,1 persen menjadi 3,2 persen.

Hal tersebut lantaran melihat perkembangan inflasi yang terus meningkat di sebagian besar negara dengan kontribusi ekonomi yang besar di tingkat global. Meningkatnya harga sumber energi dan harga komoditas lainyornya sejak akhir 2021 telah memicu peningkatan inflasi global. Kondisi ini kian diperparah dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina.

Inflasi yang tinggi, menurut Indef, menekan pertumbuhan ekonomi dan menghambat pemulihan ekonomi. "Peningkatan inflasi yang terus menerus dapat menghantam sisi konsumsi rumah tangga dengan berkurangnya nilai riil dari uang yang mereka pegang."

Peningkatan inflasi juga membuat banyak negara dapat mengalami neraca pembayaran negatif dan menghambat pertumbuhan ekonomi dan juga pemulihan ekonomi usai pandemi. Akibatnya, negara-negara berkembang dan menengah ke bawah bakal menjadi korban utama dari naiknya biaya pembiayaan ini.

Utang negara-negara berkembang dan menengah ke bawah ini diprediksi bakal semakin membengkak yang membuatnya kian rentan terhadap guncangan ekonomi. "Di sini lah mungkin isu pengurangan atau bahkan pengampunan utang bagi negara-negara berkembang ini patut kita pertimbangkan," tulis Indef.

HAMDAN CHOLIFUDIN ISMAIL | BISNIS

Baca: Sri Mulyani Beberkan Risiko yang Menghantui Perekonomian Global

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Berita terkait

Jokowi Resmikan Jalan 5 Inpres di NTB Senilai Rp 211 Miliar: Anggaran yang Tidak Kecil

3 jam lalu

Jokowi Resmikan Jalan 5 Inpres di NTB Senilai Rp 211 Miliar: Anggaran yang Tidak Kecil

Jokowi meresmikan pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Jalan Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Kamis pagi, 2 Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Terkini: Pendapatan Garuda Indonesia Kuartal I 2024 Melonjak, Sri Mulyani Kembali Bicara APBN untuk Transisi Energi

18 jam lalu

Terkini: Pendapatan Garuda Indonesia Kuartal I 2024 Melonjak, Sri Mulyani Kembali Bicara APBN untuk Transisi Energi

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. mencatatkan pertumbuhan pendapatan di kuartal I 2024 ini meningkat hingga 18,07 persen dibandingkan kuartal I 2023.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Tekankan Pentingnya Kekuatan APBN untuk Efektivitas Transisi Energi

20 jam lalu

Sri Mulyani Tekankan Pentingnya Kekuatan APBN untuk Efektivitas Transisi Energi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan pentingnya kekuatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk efektivitas transisi energi.

Baca Selengkapnya

Turunnya Penerimaan Pajak Berdampak pada Defisit APBN

22 jam lalu

Turunnya Penerimaan Pajak Berdampak pada Defisit APBN

Jika penerimaan pajak terus anjlok di tengah melesatnya belanja negara, defisit APBN bisa membengkak.

Baca Selengkapnya

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

1 hari lalu

Ekonomi NTB Tumbuh Positif, Ekspor Diprediksi Meningkat

Perkembangan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) 2023 tumbuh positif.

Baca Selengkapnya

Penerimaan Bea Cukai Turun 4,5 Persen

1 hari lalu

Penerimaan Bea Cukai Turun 4,5 Persen

Penerimaan Bea Cukai Januari-Maret turun 4,5 persen dibanding tahun lalu.

Baca Selengkapnya

CEO Microsoft Ketemu Jokowi Bahas Investasi Rp 14 Triliun, Ini Profil Satya Nadella

1 hari lalu

CEO Microsoft Ketemu Jokowi Bahas Investasi Rp 14 Triliun, Ini Profil Satya Nadella

CEO sekaligus Chairman Microsoft Satya Nadella bertemu Jokowi, kemarin. Berikut profilnya.

Baca Selengkapnya

GAPKI Sebut Kinerja Ekspor Sawit Turun, Ini Penyebabnya

1 hari lalu

GAPKI Sebut Kinerja Ekspor Sawit Turun, Ini Penyebabnya

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mengatakan kinerja ekspor sawit mengalami penurunan. Ini penyebabnya.

Baca Selengkapnya

Timothy Ronald, Pemegang Saham Termuda Holywings Group

1 hari lalu

Timothy Ronald, Pemegang Saham Termuda Holywings Group

Bisnis dari Holywings Group tidak hanya mencakup beach club terbesar di dunia (Atlas) dan di Asia (H Club), tapi juga klub dan bar

Baca Selengkapnya

Bos Microsoft Ungkap Rencana Investasi AI dan Cloud Senilai Rp 27,6 Triliun di Indonesia, Ini Rinciannya

1 hari lalu

Bos Microsoft Ungkap Rencana Investasi AI dan Cloud Senilai Rp 27,6 Triliun di Indonesia, Ini Rinciannya

CEO Microsoft, Satya Nadella, membeberkan rencana investasi perusahaannya di Indonesia. Tak hanya untuk pengembangan infrastruktur AI dan cloud.

Baca Selengkapnya