Ini Alasan Sri Mulyani Yakin Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tembus 5,3 persen
Reporter
Hamdan Cholifudin Ismail
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 24 Juni 2022 09:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2022 bakal berkisar 4,8 hingga 5,3 persen.
"Dengan aktivitas yang sangat kuat, kita akan lebih optimistis pertumbuhan ekonomi di kuartal II masih akan sangat kuat di sekitar 4,8-5,3 persen dengan titiknya mungkin di sekitar 5," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita pada Kamis, 23 Juni 2022.
Keyakinannya berangkat dari bergeraknya perekonomian terlihat dari tingkat konsumsi dan aktivitas masyarakat mulai meningkat. Dari sisi produksi ada peningkatan yang menandakan investasi dan ekspor Indonesia mulai tumbuh tinggi. Walau impor tumbuh cukup tinggi, namun neraca perdagangan masih mencatatkan surplus.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani menyebut dari sisi pertumbuhan ekonomi, agregat permintaan pertumbuhan ekonomi mulai didorong dari konsumsi rumah tangga, investasi dalam bentuk berbagai macam ekspansi kapasitas dan juga dari sisi sektor eksternal.
"Ini tentu menggembirakan karena pertumbuhan ekonomi tidak lagi tergantung hanya dari sisi APBN," kata Sri Mulyani.
Saat ini, kata Sri Mulyani, APBN telah bergeser menjadi instrumen untuk menjaga agar syok bisa diredam. Artinya, APBN bukan lagi sebagai lokomotif utama pertumbuhan ekonomi.
"Karena sekarang mesin pertumbuhan sudah mulai menyala di konsumsi, investasi dan ekspor," kata Sri Mulyani.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sebelumnya menyatakan pentingnya bauran kebijakan dalam mengendalikan inflasi. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas.
"Pengendalian tingkat inflasi tidak dapat hanya mengandalkan salah satu kebijakan dari satu sisi, perlu ada bauran kebijakan dalam mengendalikan dan memitigasi risiko tantangan inflasi di 2022," tulis Indef dalam keterangan tertulisnya, pada 16 Juni 2022 lalu.
Kebijakan pengendalian harga-harga dari sisi moneter, menurut Indef, perlu didukung oleh kebijakan pengelolaan keuangan negara yang tepat sasaran dan efisien. Dukungan ongkos pembiayaan yang murah juga diperlukan guna meningkatkan produktivitas ekonomi.
<!--more-->
Selain itu, dalam mengendalikan inflasi, Indef menyatakan diperlukan kerja sama global, di antaranya dengan pengelolaan beban utang akibat peningkatan suku bunga acuan. Langkah ini dimaksudkan untuk membantu negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah.
Di lain sisi, dukungan terhadap pembiayaan juga perlu dilakukan. "Mitigasi risiko capital outflow terutama di negeri-negara emerging market serta penyediaan likuiditas tambahan seperti melalui komitmen Special Drawing Rights (SDR) US$ 100 miliar sebagaimana yang akan dibahas dalam G20 International Financial Architecture Working Group (IFA WG) perlu dilakukan.
Indef juga menyoroti mendesaknya upaya menurunkan eskalasi ketegangan geopolitik di tingkat global. Hal tersebut perlu didorong agar dapat menekan peningkatan harga energi dan harga komoditas lainnya.
Sebelumnya, sejumlah lembaga internasional ini mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global di April 2022. Selain Dana Moneter Internasional atau IMF dan Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global ke level yang lebih rendah, yaitu dari 4,1 persen menjadi 3,2 persen.
Hal tersebut lantaran melihat perkembangan inflasi yang terus meningkat di sebagian besar negara dengan kontribusi ekonomi yang besar di tingkat global. Meningkatnya harga sumber energi dan harga komoditas lainyornya sejak akhir 2021 telah memicu peningkatan inflasi global. Kondisi ini kian diperparah dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina.
Inflasi yang tinggi, menurut Indef, menekan pertumbuhan ekonomi dan menghambat pemulihan ekonomi. "Peningkatan inflasi yang terus menerus dapat menghantam sisi konsumsi rumah tangga dengan berkurangnya nilai riil dari uang yang mereka pegang."
Peningkatan inflasi juga membuat banyak negara dapat mengalami neraca pembayaran negatif dan menghambat pertumbuhan ekonomi dan juga pemulihan ekonomi usai pandemi. Akibatnya, negara-negara berkembang dan menengah ke bawah bakal menjadi korban utama dari naiknya biaya pembiayaan ini.
Utang negara-negara berkembang dan menengah ke bawah ini diprediksi bakal semakin membengkak yang membuatnya kian rentan terhadap guncangan ekonomi. "Di sini lah mungkin isu pengurangan atau bahkan pengampunan utang bagi negara-negara berkembang ini patut kita pertimbangkan," tulis Indef.
HAMDAN CHOLIFUDIN ISMAIL | BISNIS
Baca: Sri Mulyani Beberkan Risiko yang Menghantui Perekonomian Global
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.