Marak PHK di Startup, Rudiantara: Bukan Bubble Burst
Reporter
Tempo.co
Editor
Francisca Christy Rosana
Jumat, 27 Mei 2022 05:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Fintech Indonesia Rudiantara mengatakan fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaan rintisan atau startup digital bukan menggambarkan sebuah kondisi bubble burst atau ledakan.
“Mungkin lebih pas dibilang terjadi riak-riak atau letupan kegagalan digital sturtup, namun tidak bubble burst (ledakan),” kata Rudiantara saat dihubungi pada Kamis, 26 Mei 2022.
Baru-baru ini startup yang bergerak di bidang pendidikan, Zenius, mengumumkan PHK terhadap tenaga kerjanya yang berjumlah 200 orang. Pekerja yang tereliminasi itu mayoritas bekerja sebagai tim produksi dan tim konten.
Tak hanya Zenius, LinkAja pun melakukan PHK terhadap puluhan pekerjanya. Perusahaan dompet digital di bawah naungan badan usaha milik negara (BUMN) itu merampingkan karyawan untuk bagian teknologi informasi—menurut informasi yang dihimpun Tempo.
Rudiantara mengatakan umumnya 10 persen startup digital gagal melewati tahun pertama. Namun 90 persen lainnya rontok saat berumur lebih dari lima tahun.
Walau angka resistensi perusahaan rintisan itu lebih baik ketimbang lima tahun lampau, iklim bisnis ini telah berubah menjadi tidak terlampau toleran. Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika itu menjelaskan orientasi investor telah beralih dari sebelumnya berfokus pada traction, yakni jumlah pengunduh aplikasi dan jumlah transaksi alias bakar uang, menjadi EBITDA atau road to profitability.
Walhasil, investor menjadi lebih selektif. Kendati begitu, ia melihat fenomena yang terjadi sekarang tidak menyurutkan minat investor terhadap startup digital. Meski, kata Rudiantara, kriteria investasinya akan berubah.
“Ini pelajaran bagi digital startup bahwa esensi bisnis adalah tetap EBITDA,” katanya.
<!--more-->
Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro mengatakan kondisi yang dialami sejumlah perusahaan rintisan atau startup digital terjadi karena semakin selektifnya investor mengucurkan dana investasi. Ia mengatakan startup kudu menghemat dana untuk jangka panjang.
“Salah satu cara adalah langkah-langkah efisiensi,” katanya.
Eddi berujar, sejatinya investasi di perusahaan startup masih menarik bagi investor. Hal itu dilihat baik dari unrealized maupun realized gain atau keuntungan yang belum direalisasi dan yang telah direalisasi.
Namun, investor berharap startup menyusun strategi untuk memproleh keuntungan. “Startup tidak bisa terus-terusan bakar uang. Harus ada path to profitability,” kata dia.
Adapun untuk memutuskan pendanaan di startup, investor umumnya memiliki sejumlah kriteria. Misalnya traction atau daya tarik, market size, model bisnis, regulasi, kompetisi, profabilitas, founder, dan exit strategy.
CAESAR AKBAR
Baca juga: IHSG Rontok Sepanjang 2 Hari, Berikut Rekomendasi Analis untuk Investor
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini