Dampak Larangan Ekspor CPO: Harga TBS Jeblok, Petani Tak Sanggup Beli Pupuk
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 17 Mei 2022 10:37 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy (PASPI) Tungkot Sipayung meminta pemerintah agar tak terlalu lama menerapkan kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) atau larangan ekspor CPO dan produk turunannya.
Jika aturan itu terlalu lama diberlakukan, menurut Tungkot, dampak buruk bagi petani sawit bakal harus dirasakan paling tidak hingga dua tahun mendatang.
Ia mencontohkan, jebloknya harga tandan buah segar atau TBS telah membuat petani tidak lagi sanggup membeli pupuk. "Apalagi saat ini pupuk mahal. Karena tak memupuk, produksi tanaman sawitnya akan turun. Dan ini dampaknya bisa sampai dua tahun,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, 16 Mei 2022.
Usai kebijakan itu diberlakukan, kata Tungkot, pabrik kelapa sawit (PKS) juga mengurangi pembelian tandan buah segar (TBS) dan menurunkan harga pembelian TBS sehingga petani sawit kesulitan menjual TBS-nya.
Pemerintah melarang ekspor lewat payung hukum Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO, Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Palm Olein, dan Used Cooking Oil. Dalam beleid itu, eksportir dilarang sementara melakukan ekspor minyak goreng beserta beberapa bahan bakunya.
Beleid itu berlaku per 28 April 2022 lalu dan akan dievaluasi secara periodik melalui rapat koordinasi di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian setiap bulan atau sewaktu-waktu bila diperlukan.
Dengan kini telah memasuki pekan kedua bulan Mei, menurut Tungkot, saat ini waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan tersebut. Apalagi, fakta di lapangan menunjukkan seluruh produsen TBS kesulitan menjual TBS-nya.
Usai Permendag No 22 Tahun 2022 diberlakukan pun, kata dia, tidak terjadi penurunan harga minyak goreng secara signifikan. “Artinya, pelarangan ekspor ini bukan cara yang tepat untuk membuat harga minyak goreng di dalam negeri murah," tuturnya.
<!--more-->
Bahkan, menurut Tungkot, selama ekspor dilarang, yang terjadi malah penyelundupan minyak goreng ke luar negeri. "Jadi kebijakan ini tidak efektif."
Hal senada disampaikan oleh Anggota Dewan Pakar Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Wayan Supadno. Ia menyatakan pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng telah berdampak serius kepada petani sawit.
Tahun lalu, total produksi CPO nasional pada 2021 tercatat sebanyak 52 juta ton. Sebanyak 34 juta ton (64 persen) di antaranya diekspor, sedangkan sisanya sebesar 18 juta ton (36 persen) digunakan untuk kebutuhan dalam negeri baik untuk pangan, energi maupun oleochemical.
Tapi karena 34 juta ton tersebut tidak boleh diekspor, kata Wayan, CPO tersebut tidak punya pasar. "Karena tidak punya pasar, PKS tidak mau memproduksi. Kalau PKS tidak berproduksi, maka wajar saja PKS tidak membeli TBS milik petani."
Walhasil, di banyak daerah petani tidak memanen TBS-nya sebab harganya sangat rendah. Akibatnya, TBS yang tidak dipanen tersebut akan menyuburkan jamur yang merusak pohon sawit.
Bila dibandingkan dengan sebelum adanya kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunannya, kata Wayan, harga TBS di tingkat petani bisa mencapai Rp 3.800 per kg. Tapi kini harga TBS jatuh hingga di kisaran Rp 500 - 2.000 per kilogram.
ANTARA
Baca: Terkini Bisnis: Besok Petani Sawit Demo, Jangan Harap Elon Musk Investasi
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.