Rusia vs Ukraina Kian Memanas, Harga Minyak Dunia Akan Tembus USD 200 per Barel?
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 7 Maret 2022 09:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Harga minyak dunia berjangka jenis Brent melonjak US$ 12,73 menjadi US$ 130,84 per barel. Kenaikan juga terjadi pada harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) AS yang menguat US$ 9,92 menjadi US$ 125,6 per barel.
Melambungnya harga komoditas itu hingga lebih dari 10 persen pada Senin pagi ini, 7 Maret 2022, dipicu oleh risiko larangan AS dan Eropa terhadap produk Rusia. Selain itu faktor pendorong kenaikan harga minyak adalah penundaan pembicaraan Iran yang memicu terbentuknya kejutan stagflasi utama bagi pasar dunia.
Adapun Euro yang memperpanjang penurunannya, memukul keseimbangan terhadap mata uang safe haven franc Swiss. Akibatnya, harga komoditas dari semua lini melonjak karena konflik Rusia-Ukraina malah semakin memanas.
Rusia sebelumnya menyebut operasi militer yang diluncurkan pada 24 Februari sebagai operasi militer khusus, dengan mengatakan tidak memiliki rencana untuk menduduki Ukraina.
Akibat meroketnya harga minyak mentah itu, sejumlah bursa saham melorot. Ditambah dengan naiknya pajak pada konsumen yang berpotensi memukul pertumbuhan ekonomi global berimbas pada bursa S&P 500 yang turun 1,4 persen, sementara Nasdaq berjangka turun 1,9 persen.
Imbal hasil obligasi 10-tahun AS juga turun ke level terendah sejak awal Januari. Adapun indeks Nikkei Jepang merosot 1,9 persen, sementara indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang melemah 0,3 persen.
Usai meroket 21 persen minggu lalu, minyak mentah Brent lebih didorong oleh risiko larangan minyak Rusia oleh Amerika Serikat dan EropaK kepala ekonom BofA, Ethan Harris, menyatakan, jika negara-negara Barat memotong sebagian besar ekspor energi Rusia, hal tersebut bakal menimbulkan syok besar bagi pasar global.
Ia juga memprediksi hilangnya 5 juta barel pasokan minyak Rusia dapat mendorong kenaikan harga minyak hingga menembus US$ 200 per barel. Hal itu kemudian bakal berimbas pada jebloknya pertumbuhan ekonomi secara global.
Menurut Harris, tak hanya minyak, harga-harga komoditas bakal ikut terkerek. Beberapa di antaranya sudah merangkak pada pekan lalu, seperti nikel naik 19 persen, aluminium naik 15 persen, seng naik 12 persen, dan tembaga naik 8 persen. Adapun gandum berjangka telah meroket hingga 60 persen dan jagung meningkat 15 persen.
<!--more-->
Ditambah dengan data harga konsumen AS minggu ini yang diperkirakan akan menunjukkan pertumbuhan tahunan di stratosfer 7,9 persen, dan ukuran inti di 6,4 persen, inflasi global bakal turut tersulut. Hal-hal ini yang diprediksi bakal makin memperumit gambaran kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB) ketika bertemu minggu ini.
Ekonom di NAB, Tapas Strickland, menyatakan, potensi stagflasi sudah sangat nyata. Ia memperkirakan ECB bakal mempertahankan fleksibilitas maksimum dengan program pembelian asetnya sebesar 20 miliar euro hingga kuartal kedua dan berpotensi seterusnya.
"Sehingga secara efektif mendorong waktu kenaikan suku bunga," kata Strickland. "Namun, perkiraan IHK (indeks harga konsumen) yang lebih tinggi, kenaikan suku bunga akan diperlukan dalam waktu dekat."
Dengan prospek jangka pendek dari ECB yang lebih dovish dikombinasikan dengan aliran safe-haven dinilai bakal mendorong imbal hasil obligasi 10-tahun Jerman turun sebesar 32 basis poin minggu lalu. Imbal hasil 10-tahun AS turun 1,69 persen, setelah turun 23 basis poin minggu lalu.
Adapun dana berjangka The Fed juga naik karena pasar memperkirakan laju kenaikan suku bunga yang lebih lambat dari bank sentral Amerika Serikat itu tahun ini. Walaupun kenaikan Maret masih dilihat sebagai kesepakatan yang sudah selesai.
Dengan prospek pertumbuhan Eropa yang kian suram, mata uang tunggal terpukul dan jeblok hingga 3 persen minggu lalu ke level terendah sejak pertengahan 2020. Euro terakhir turun 0,6 persen pada 1,0864 dolar dan dalam bahaya menguji level 2020 di sekitar 1,0635 dolar. Euro juga jatuh terhadap franc Swiss hingga mencapai 1,0000 untuk pertama kalinya sejak awal 2015.
Sementara itu, dolar AS secara luas menguat, sebagian didukung oleh laporan penggajian yang kuat yang hanya menegaskan kembali ekspektasi pasar untuk kenaikan Fed bulan ini. Indeks dolar terakhir di 98,877 setelah naik 2,3 persen minggu lalu.
"Peristiwa di Ukraina semakin menekan euro," kata Richard Franulovich, kepala strategi valas di Westpac. "Dengan arus safe-haven yang kemungkinan akan berlanjut untuk beberapa waktu dan pejabat Fed ingin melanjutkan rencana normalisasi kebijakan mereka, 100+ untuk (indeks dolar) hanyalah masalah waktu."
Imbas lonjakan harga minyak dunia itu mengerek komoditas harga emas. Emas menjadi salah satu tempat berlabuh aman tertua dan terakhir naik 1 persen persen menjadi diperdagangkan di US$ 1.988 per ounce.
ANTARA
Baca: Turis dari 23 Negara Dapat Visa on Arrival di Bali per Hari Ini, Simak Daftarnya
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.