Surati Jokowi, Aspek Indonesia Minta Aturan Baru Soal JHT Dibatalkan
Reporter
M. Faiz Zaki
Editor
Martha Warta Silaban
Selasa, 15 Februari 2022 11:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Menteri Ketenagakerjaan pada Senin, 14 Februari 2022. Maksud surat tersebut agar membatalkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 terkait Jaminan Hari Tua (JHT).
Mirah Sumirat selaku Presiden Aspek Indonesia mengatakan pihaknya memohon kepada presiden agar Menaker mencabut aturan terbaru tersebut. Selain itu agar Permenaker Nomor 19 tahun 2015 tetap diberlakukan.
“Dimana manfaat Jaminan Hari Tua dapat dicairkan untuk pekerja yang berhenti bekerja, baik karena mengundurkan diri maupun karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), yang dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pengunduran diri atau tanggal PHK,” katanya dalam keterangan tertulis pada Selasa, 15 Februari 2022.
Adapun pertimbangan pertama yang didasarkan Aspek Indonesia, seperti Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 sesungguhnya sudah sesuai dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, sehingga tidak perlu dilakukan perubahan.
Menurut Mirah dalam pertimbangan kedua surat tersebut mendasarkan Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 yang mana setiap pekerja yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri maupun karena terkena PHK, memiliki hak untuk memilih apakah akan mencairkan manfaat Jaminan Hari Tua pada saat berhenti bekerja, atau pada saat memasuki usia pensiun.
Selanjutnya dari pertimbangan ketiga, pihaknya menilai Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004. Adapun argumennya sebagai berikut:
- Pasal 1 Ayat 8: Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
- Pasal 1 Ayat 9: Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya.
- Pasal 1 Ayat 10: Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.<!--more-->
“Dari uraian Pasal 1 Ayat 8, 9 dan 10 UU No 40 Tahun 2004 di atas, tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘peserta’ adalah setiap orang yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran,” tuturnya Mirah berdasarkan pertimbangan keempat.
Mirah menjelaskan di pertimbangan kelima, komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar dua persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan.
Dia mengatakan dalam dana JHT dimaksud, tidak ada keikutsertaan dana dari pemerintah. Sehingga tidak ada alasan untuk pemerintah menahan dana JHT dimaksud.
Kemudian pihaknya melihat kondisi faktual saat ini yang diklaim banyak korban PHK dengan berbagai sebab dan membutuhkan JHT untuk kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja.
“Banyak juga pekerja yang di-PHK tanpa mendapatkan pesangon, antara lain karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Sehingga pekerja sangat berharap bisa mencarikan JHT yang menjadi haknya,” ujar Mirah dalam pertimbangan keenam.
Selanjutnya pada pertimbangan ketujuh, pihaknya menilai perubahan persyaratan klaim JHT saat usia 56 tahun sangat mencederai rasa keadilan pekerja yang ingin mencairkan setelah mengundurkan diri atau terkena PHK.
Atas pertimbangan yang disampaikan, maka Aspek Indonesia menilai tidak ada alasan dasar untuk menunda pencairan JHT sampai usia 56 tahun untuk pekerja yang terkena PHK atau mengundurkan diri.
Baca Juga: Jokowi Disebut Mirip Soeharto di Kasus Wadas, Ngabalin: Tuduhan Itu Tendensius