535 Pengaduan Diterima YLKI Sepanjang 2021, Mayoritas terkait Jasa Keuangan
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 8 Januari 2022 07:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 535 pengaduan diterima Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI sepanjang tahun 2021. Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, menyebutkan mayoritas pengaduan yang masuk terkait dengan layanan sektor jasa keuangan.
Jumlah ini pengaduan ini naik ketimbang tahun sebelumnya yang sebanyak 402 pengaduan. Namun bila dibandingkan dengan negara-negara maju, jumlah pengajuan ini lebih rendah. Hal tersebut tercermin dari rendahnya Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) dengan skor indeks baru mencapai 50,39 persen pada 2021.
Tulus menjelaskan, berdasarkan laporan yang masuk, pengaduan sektor jasa keuangan tertinggi mencapai 49,60 persen sepanjang 2021. "Sektor tersebut terdiri dari bank, pinjaman online, leasing, asuransi, uang digital dan investasi," ujarnya dalam konferensi pers, Jumat, 7 Januari 2022.
Aduan kedua berasal dari sektor e-commerce sebesar 17,2 persen yang terdiri dari belanja online dan transportasi online. Selanjutnya diikuti oleh telekomunikasi 11,4 persen, perumahan 4,9 persen dan listrik 1,7 persen.
Adapun pengaduan dari sektor jasa keuangan, datanya meningkat pesat dari 2020 yang sebesar 33,5 persen. Sementara e-commerce juga meningkat sebesar 12,7 persen dari tahun lalu. Pun dengan telekomunikasi yang naik dari 8,3 persen.
YLKI juga mencatat aduan dari sektor perumahan cenderung turun bila dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 5,7 persen. Pengaduan listrik menurun cukup drastis dibandingkan 2020 mencapai 8,2 persen.
<!--more-->
Sebagai catatan, jumlah pengaduan pada 2021 ini masih lebih rendah dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Pada tahun 2017 misalnya, YLKI menerima sebanyak 642 pengaduan, 2018 sebanyak 564 pengaduan, dan 2019 sebesar 563 pengaduan.
Soal aduan terkait pinjaman online ilegal atau pinjol ilegal, Tulus sebelumnya menyebutkan kunci utama yang harus dibenahi adalah terus meningkatkan literasi keuangan digital masyarakat khususnya terhadap teknologi finansial (fintech).
"Ini efeknya tidak main-main, ketika konsumen transaksi secara digital, fintech, e-commerce, itu mayoritas tidak baca syarat dan ketentuan yang berlaku sehingga terjebak berbagai aturan yang terjadi di kemudian hari, yang sangat merugikan dirinya," kata Tulus pada awal September 2021 lalu.
Dengan literasi yang rendah, menurut dia, masyarakat gampang tergoda terhadap penawaran pinjaman dengan syarat yang mudah dan tanpa jaminan. Masyarakat tidak menyadari saat bertransaksi pinjol yang menjadi jaminan adalah data pribadi.
YLKI juga mendorong adanya Undang-Undang yang mengatur perlindungan data pribadi untuk melindungi konsumen dari dampak negatif digital ekonomi. Belum adanya Undang-Undang terkait data pribadi hingga kini, menurut Tulus, adalah ironi di tengah upaya pemerintah yang membuka lebar pengembangan digital ekonomi yang menggunakan basis data pribadi.
BISNIS
Baca: Terpopuler Bisnis: Faisal Basri soal Salah Diagnosis Ekonomi, NFT Masuk SPT
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.