Batu Bara Dilarang Diekspor, Bagaimana Dampaknya ke Neraca Perdagangan RI?
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 4 Januari 2022 08:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah memutuskan melarang kegiatan ekspor batu bara selama sebulan penuh, sejak 1 hingga 31 Januari 2022 untuk menjamin ketersediaan komoditas tersebut untuk pembangkit listrik dalam negeri. Lalu bagaimana dampaknya terhadap neraca perdagangan nantinya?
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai larangan ekspor batu bara perlu dilihat dari sisi kepentingan pemulihan ekonomi nasional. Artinya, tak bisa hanya dilihat pada kontribusi komoditas tersebut pada kinerja ekspor.
Sebab, menurut Faisal, pasokan batu bara untuk kebutuhan listrik penting untuk menjamin aktivitas manufaktur dan ekonomi di dalam negeri tetap berjalan. Selain itu, potensi ekspor dari batu bara yang hilang bisa digantikan dengan ekspor produk lainnya seperti minyak sawit dan besi dan baja.
Dalam catatannya, surplus perdagangan dalam beberapa bulan terakhir telah melampaui besaran ekspor batu bara. “Kalau kita asumsikan ekspor batu bara di kisaran US$ 2 miliar sampai US$ 3 miliar, sementara surplus di atas US$ 4 miliar per bulannya, masih ada surplus," ujarnya, Senin, 3 Januari 2022.
Sedangkan untuk ekspor manufaktur dan komoditas lain seperti besi dan baja dan CPO, kata Faisal, masih bisa meredam kehilangan yang mungkin timbul dari hilangnya ekspor batu bara.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie juga optimistis ekspor alas kaki bisa tetap tumbuh secara bulanan pada awal tahun. Dibandingkan bulan Desember 2021, ekspor produk ini diyakini tetap naik.
Hal ini, menurut Firman, berbeda dengan tren ekspor nonmigas yang secara historis turun secara bulanan pada Januari dibandingkan dengan bulan sebelumnya. “Trennya belum langsung turun pada Januari, kemungkinan mulai turun pada Mei low season di alas kaki,” ucapnya.
Ekspor alas kaki pada Januari 2021 sebesar US$ 490,11 juta, naik bila dibandingkan dengan kinerja ekspor Desember 2020 yang bernilai US$ 461,94 juta. Kenaikan serupa juga terlihat pada Januari 2020 yang bernilai US$ 424,22 juta dari US$ 366,90 juta pada Desember 2019.
Meski begitu, ia tak bisa memastikan kinerja ekspor alas kaki bisa memberi kontribusi signifikan pada neraca perdagangan sebagaimana batu bara. Hanya saja, kata Firman, larangan ekspor batu bara bisa mendukung upaya pemenuhan pasokan listrik bagi pabrik.
<!--more-->
“Kalau (batu bara) tidak dilarang ekspor. beberapa anggota (di dalam negeri) yang pakai batu bara pasti juga akan kesulitan,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan tren ekspor produk minyak sawit bisa saja berubah walaupun secara historis belakangan cenderung turun pada awal tahun. “Tidak ada yang tahu pastinya seperti apa, termasuk dari sisi harga dan volume,” katanya.
Sepanjang tahun lalu, produk sawit menjadi komoditas penyumbang ekspor nonmigas terbesar. Hingga November 2021, nilai ekspor produk sawit mencapai US$ 29,85 miliar.
Gapki, kata Togar, memperkirakan nilai ekspor minyak sawit mentah dan turunannya bisa menembus US$ 35 miliar pada 2021. Harga diperkirakan masih berkisar di level US$ 1.300 per ton dan stok yang bisa diekspor pada November dan Desember mencapai 6,4 juta ton.
Seperti diketahui, pelarangan ekspor batu bara sementara berlaku untuk perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi, dan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, serta PKP2B.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Jamaludin menjelaskan bahwa larangan sementara ekspor batu bara dilakukan guna memastikan pasokan komoditas itu untuk pembangkit listrik di dalam negeri.
Sebab, jika pembangkit listrik di dalam negeri kekurangan pasokan batu bara, bisa berdampak kepada lebih dari 10 juta pelanggan PT PLN (Persero). Sepuluh juta pelanggan perusahaan setrum negara itu mulai dari masyarakat umum hingga industri di Jawa, Madura, Bali (Jamali), dan non-Jamali.
“Kenapa semuanya dilarang ekspor? Terpaksa dan ini sifatnya sementara. Jika larangan ekspor tidak dilakukan, hampir 20 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan daya sekitar 10.850 megawatt akan padam,” kata Ridwan dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Sabtu, 1 Januari 2022.
Lebih jauh, Ridwan menuturkan, pemadaman listrik nantinya berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Namun begitu pasokan batu bara untuk pembangkit listrik sudah terpenuhi, kata dia, maka perusahaan diizinkan kembali untuk mengekspor. Pemerintah pun akan mengevaluasi kembali kebijakan tersebut pada 5 Januari 2022.
BISNIS
Baca: Alokasi Anggaran untuk Ibu Kota Negara di APBN 2022 Belum Jelas, Ini Sebabnya
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.