Soal Batu Bara, Sri Mulyani: Apakah Listrik di RI Mati, Tetap Kita Ekspor?
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Kodrat Setiawan
Selasa, 4 Januari 2022 04:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyinggung soal kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) dari perusahaan batu bara di tanah air. Kalau saja kewajiban itu dipenuhi, kata dia, maka tentu tak perlu ada larangan ekspor batu bara per 1 Januari lalu.
"Tapi ternyata kan tidak (dipenuhi), karena opportunity untuk mengekspor begitu sangat tinggi karena harga yang tinggi," kata dia dalam konferensi pers, Senin, 3 Januari 2022.
Sebelumnya, larangan resmi diumumkan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin. Larangan berlaku dari 1 sampai 31 Januari 2022.
Larangan diberlakukan karena kondisi pasokan batu bara untuk pembangkit listrik lokal sedang kritis. Sehingga, perusahaan pun diminta memasok batu bara ke pembangkit milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN maupun Independent Power Producer (IPP).
Menurut Ridwan, persediaan batu bara yang aman di PLTU PLN adalah di atas 20 hari operasi. Tapi dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari pemerintah, hingga 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1 persen. Kondisi ini membuat aliran listrik untuk 10 juta pelanggan PLN terancam padam.
Sri Mulyani mengatakan penghentian keran ekspor ini memang bertujuan untuk menjaga pasokan dalam negeri. Ia menilai pilihan sulit ini harus diambil dengan mencari dampak seminimal mungkin pada perekonomian. "Apakah listrik di Indonesia mati, tapi tetap kita ekspor?" kata dia.
<!--more-->
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut larangan ekspor ini memang solusi jangka pendek untuk memastikan ketersediaan listrik. Namun, Kemenkeu juga ikut mencari solusi jangka menengah dan panjang tetap harus dicari untuk menyelesaikan masalah ini.
Batu bara sebagai salah satu komoditas yang diekspor dan menghasilkan devisa, tetap bisa memenuhi kebutuhan domestik. "Jadi ini yang kami lakukan pada hari-hari ini," kata dia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu tidak merinci besaran dampak ke penerimaan negara atas larangan selama satu bulan ini. Kalaupun ada, kata dia, dampak ke penerimaan, ekspor, dan neraca perdagangan akan sangat sementara. "Jadi kami cukup nyaman dengan risiko yang kita hadapi ke depan," kata dia.
Sementara, Direktur Jenderal Bea Cukai Askolani mengatakan penerimaan dari batu bara ini paling banyak di sisi Pendapatan Negara Bukan Pajak atau PNBP, selain dari sisi perpajakan. Tapi saat ini, kata dia, ekspor batu bara tidaklah dikenai bea keluar. "Jadi (penerimaan kepabeanan dan cukai) tidak terpengaruh dengan pembatasan ekspor yang ditetapkan oleh ESDM saat ini," kata dia.
Setelah Sri Mulyani, giliran Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang menggelar konferensi pers. Jokowi pun mengingatkan pelaku industri batu bara tanah air untuk memenuhi ketentuan DMO. Pasalnya, ketentuan itu mutlak dan tak boleh dilanggar.
"Sudah ada mekanisme DMO yang mewajibkan perusahaan tambang memenuhi kebutuhan pembangkit PLN. Ini mutlak, jangan sampai dilanggar dengan alasan apa pun," ujar Jokowi dalam keterangan daring, Senin, 3 Januari 2021.
Jokowi pun mengingatkan bahwa pemerintah dapat memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak dapat melaksanakan kewajiban pemenuhan kebutuhan batu bara dalam negeri. "Bila perlu bukan cuma tidak mendapatkan izin ekspor tetapi juga pencabutan izin usaha," ujarnya.
Baca juga: Jokowi Ancam Cabut Izin Perusahaan Batu Bara yang Tak Penuhi Kewajiban DMO
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.