"Pengetatan tersebut dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan mencegah pengalihkapalan (transhipment)," kata Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung kepada Tempo, Jumat (2/1). Sedangkan perpanjangan larangan impor diputuskan karena udang jenis vanamae yang kebanyakan berasal dari Cina dan Vietnam itu mengandung virus yang berbahaya bagi konsumen. Aturan baru ini akan berlaku hingga Juni 2009, dengan kemungkinan diperpanjang.
Dalam peraturan bersama yang ditandatangani Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada tanggal 24 Desember lalu, udang selain Penaeus vanamae boleh diimpor, asalkan berbentuk utuh, lengkap dengan kepala dan kulitnya. Impor hanya akan bisa didatangkan melalui lima pelabuhan laut, yaitu Belawan Medan, Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Emas Semarang, Tanjung Perak Surabaya, Soekarno Hatta Makassar, serta empat bandar udara, yakni Polonia Medan, Soekarno Hatta Jakarta, Juanda Surabaya, dan Sultan Hasanuddin Makassar.
Adapun larangan impor Penaeus vanamae telah diberlakukan sejak tahun 2004 dan diperpanjang tiap semester. Jika ada importir yang tertangkap mendatangkan Penaeus vanamae atau udang tanpa kepala, maka ia wajib mengembalikan udang tersebut ke negara asalnya atau memusnahkannya. Biayanya tentu harus ditanggung oleh pengimpor bandel itu.
Dalam peraturan larangan impor sebelumnya, menurut Saut, pemerintah tak mengatur rinci soal impor udang selain Penaeus vanamae. "Sehingga pengalihkapalan riskan terjadi," kata dia. Pasalnya, udang tanpa kepala sulit dibedakan spesiesnya. Maka udang tersebut bisa saja diimpor, kemudian diekspor kembali dengan label buatan Indonesia. "Lalu kalau tidak memenuhi standar pangan negara tujuan, Indonesia yang kena getahnya," tutur Saut. Belum lagi, tidak dibatasi pelabuhan laut dan bandar udara mana saja yang bisa mengimpornya.
Kalangan pengusaha menyambut ketentuan baru tersebut. "Langkah pemerintah tersebut bagus untuk melindungi industri domestik," ujar Ketua Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia Herwindo. Namun, ia memperingatkan, pemerintah mesti berhati-hati dalam hal alasan adanya virus di dalam Penaeus vanamae. "Pemerintah harus membuat kajian ilmiah yang memadai untuk memastikan masih adanya virus itu, dan seberapa berbahaya," kata dia. Jika tidak, perpanjangan larangan yang terus menerus bisa menuai protes dari negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) lainnya.
Ketua Shrimp Club Indonesia Iwan Hartono lebih lanjut meminta pemerintah untuk bersungguh-sungguh menjalankan fungsi pengawasannya. "Jangan sampai pemain nakal terus mengambil keuntungan dari pengalihkapalan," ujarnya. Menurut Iwan, pada tahun 2008 lalu, Indonesia memproduksi sekitar 300 ribu ton udang. Hanya 10 persen yang dikonsumsi pasar lokal, sementara sisanya dilego ke luar negeri. Di tahun mendatang, ia memperkirakan produksi udang akan meningkat hingga 400 ribu ton. Stok yang melimpah akibat ekspor yang tak tumbuh akan membuat harga domestik turun, sehingga diramalkan konsumsi lokal akan bertambah pula dan mengkompensasi lesunya ekspor.
BUNGA MANGGIASIH