Evergrande Terbelit Utang Rp 4.200 T, Perbankan Asia Diyakini Tak Terpengaruh
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 27 September 2021 12:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pihak optimistis bahwa krisis yang dihadapi pengembang properti Evergrande karena terbelit utang jumbo lebih dari US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.200 triliun tak akan menimbulkan gejolak di industri perbankan Asia serta menimbulkan risiko sistemik.
Salah satu keyakinan datang dari Chief Executive Officer DBS Group Holdings Ltd. Piyush Gupta. "Saya tidak berpikir banyak bank Asia terpengaruh. Saya tidak berpikir ini akan menghancurkan industri perbankan Asia," katanya seperti dikutip Bloomberg, Senin, 27 September 2021.
Hal senada disampaikan oleh salah satu investor real estat AS yang terbesar, Investcorp Holdings BSC. Perusahaan itu yakin akan sejumlah langkah yang diambil otoritas Cina dalam menanggulangi hal tersebut. Ia pun memprediksi krisis Evergrande bakal menawarkan peluang baru bagi modal swasta dan manajer aset alternatif yang berusaha ekspansi di Asia.
Kepala Eksekutif Investcorp Mohammed Alardhi menyebutkan masalah yang dihadapi pengembang Cina hanya bersifat sementara. Oleh karena itu, ia memperkirakan dampaknya hanya akan tertahan di Asia.
Bos perusahaan yang berbasis di Bahrain ini juga yakin situasi tersebut bisa berefek menenangkan untuk harga real estat yang sebelumnya menggelembung di beberapa bagian Cina.
“Kami di sana untuk (mencari) kesempatan, kami di sana untuk jangka panjang," kata Alardhi. Investcorp melalui cabang di Beijing, menurut dia, bakal berfokus mengembangkan teknologi, layanan kesehatan dan sektor makanan.
<!--more-->
Meski nada optimistis disampaikan sejumlah pihak, pasar keuangan global tetap bersiap menghadapi potensi keruntuhan Evergrande yang terlilit utang jumbo tersebut. Perusahaan ini menjadi penerbit obligasi berdenominasi dolar terbesar dengan imbal hasil tinggi di Cina dan dikhawatirkan tidak mampu membayar kupon dan tagihan bank.
Lalu, bagaimana dampaknya ke Indonesia?
Direktur Panin Asset Management Winston Sual menilai krisis tersebut dalam jangka panjang justru menjadi momentum baik buat Indonesia. Sebab, fenomena ini menambah lagi contoh langkah pemerintah Cina dalam melindungi kepentingan nasional.
Sebelumnya, otoritas Cina membungkam Alibaba dan DiDi Chuxing, serta membatasi aktivitas bermain game yang berpengaruh besar buat Tencent. Adapun kali ini Cina memperketat pasokan dan permintaan dari sektor properti selama 2 tahun terakhir.
Evergrande terjadi di Cina, menurut Winston, bukan karena harga properti hancur, tapi karena pemerintah melihat perkembangan properti terlalu cepat dan harga meningkat signifikan. "Mereka sudah memproyeksi kalau banyak orang yang spekulasi di properti, dalam beberapa tahun mendatangkan harga akan jatuh," katanya, Sabtu pekan lalu.
Keputusan Cina untuk memperketat allowed annual growth debt dari regulasi yang akrab disebut 'three red lines' untuk para developer properti, menurut Winston, sebenarnya tidak membuat sektor properti di negara tersebut hancur.
<!--more-->
Pasalnya, harga properti di beberapa kota seperti Shenzen, Shanghai, dan Beijing masih terbilang tinggi sepanjang tahun 2021 ini. Namun developer properti yang notabene hidup dari pre-sales dan menggantungkan utang jumbo untuk membangun unit, terpaksa menggelar diskon buat mempertahankan minat konsumen.
Hal ini yang kemudian akhirnya menekan profit dan memperburuk rating perusahaan dalam melunasi utang sebelumnya. Akibat lainnya adalah perekonomian nasional Cina akan melambat karena sektor properti yang menyumbang 25 persen dari PDB.
Bank sentral Cina yang sudah berhitung kemudian menyuntikkan US$18,6 miliar ke sistem perbankan, sehingga perusahaan terkait yang terkena dampak masih bisa memperoleh likuiditas. Akibat dari sikap preventif otoritas tersebut yang tak membuat dampak kasus ini tak meluas.
"Efeknya buat Indonesia justru bagus. Pertama, 'bisul' mereka sudah pecah duluan sehingga Cina punya sektor properti yang sustain," ucap Winston. Selain itu, sebagai salah satu negara pengimpor natural resources dari Indonesia, demand dari Cina bisa terus bertambah dengan sehat.
Winston mengungkap fenomena keberanian China untuk berkorban demi stabilitas ini pun berpotensi membuka mata investor dunia bahwa risiko ketidakpastian berkaitan regulasi di China begitu signifikan. Alhasil bisa sedikit mengubah capital flow dari investor ke negara lain.
Selain itu, kata dia, akibat kasus Evergrande ini, investor di sektor terkait teknologi mulai berhati-hati ke Cina. "Sehingga kalau porsi capital flow ke Cina menyusut, syukur-syukur sebagian masuk ke Indonesia, karena kita lihat beberapa waktu belakangan India sudah mulai menikmati," tutur Winston.
BISNIS
Baca: Siang Ini, Risma Jelaskan Isu 9 Juta Orang Miskin Tak Lagi Terima Subsidi BPJS