Transaksi RI-Cina Gunakan Rupiah dan Yuan, Mendag: Pamor Local Currency Naik
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 18 September 2021 07:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yakin pamor kebijakan penggunaan mata uang lokal atau Local Currency Settlement (LCS) bakal meningkat dalam beberapa tahun lagi. Hal tersebut merespons berlaku efektifnya penggunaan Rupiah dan Yuan dalam transaksi perdagangan Indonesia dan Cina pada awal bulan September ini.
Sebab, kebijakan ini bisa memberikan opsi biaya yang lebih murah bagi pedagang untuk bertransaksi lintas negara."LCS ini, menurut hemat saya, akan naik kepopulerannya dibandingkan hari ini," kata Lutfi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 17 September 2021.
Sebelumnya, kerja sama LCS Yuan - Rupiah telah diteken Bank Indonesia bersama bank sentral Cina akhir 2020 dan mulai jalan 6 September 2021. Ini lanjutan dari LCS dengan negara lain yang sudah jalan, seperti dengan Jepang, Malaysia, dan Thailand.
"Kami berupaya memperluas kerja sama LCS untuk kebutuhan diversifikasi dan menjaga independensi nilai tukar rupiah agar tak bergantung pada dolas AS," kata Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia, Doddy Zulverdi, pada 9 September 2021.
Ada beberapa perbankan yang ditunjuk jadi bank pelaksana salah satunya UOB Indonesia. Wholesale Banking Director UOB Indonesia, Harapman Kasan, mengatakan LCS telah memungkinkan transaksi perdagangan Indonesia Cina langsung dengan Rupiah dan Yuan. Sehingga, pengusaha punya pilihan lain dan tidak bergantung pada Dolar Amerika.
"Dengan Yuan dan Rupiah itu bisa direct, kami harapkan volatilitas dari exchange rate itu bisa berkurang, mudah-mudahan ya," kata dia dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 15 September 2021. Jika exchange rate alias nilai tukar mata uang berkurang, pengusaha jadi lebih mudah menentukan harga pokok.
<!--more-->
Sementara, ekonom UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menyebut LCS membuat biaya perdagangan Indonesia Cina turun, sehingga inflasi Indoensia pun lebih rendah. Hanya saja, proporsi penggunaan mata uang lokal ini masih 5 persen, dari total perdagangan dengan semua negara yang sudah diajak kerja sama.
Lutfi kemudian bercerita bahwa di tengah pandemi ini ada pola yang sama di antara negara pemilik mata uang utama. Seperti Amerika hingga negara-negara di Eropa, mereka melakukan kebijakan quantitative easing atau mencetak uang. "Kemarin mereka (Amerika), mereka besar sekali, kalau tidak salah 12 persen GDP," kata Lutfi.
Indonesia memang juga melakukan quantitative easing, kata Lutfi, walau dampaknya tidak sebesar negara dengan mata uang utama. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), mereka telah melakukan quantitative easing Rp 845 triliun sejak 2020 atau 5,3 persen GDP.
Sejalan dengan kebijakan itu, penggunaan dolar juga masih mendominasi. Lutfi lalu mencontohkan saat ini pembayaran di pelabuhan ditetapkan dalam mata uang rupiah. Sedangkan, ongkos-ongkos kirim barang ke luar negeri dalam dolar Amerika.
Tapi di sisi lain, Lutfi menyebut mata uang lokal diprediksi akan mulai jadi pilihan ketimbang mata uang utama yang saat ini eksis. Sebab, pada perdagang punya opsi lain yang lebih efisien untuk melakukan transaksi dagang dengan negara lain.
Apakah nanti ongkos kirimnya menggunakan Dolar, Euro, Yuan, atau bahkan kripto. "Tinggal dipilih saja, jadi ini bagian dari mencari efisiensi pasar tersebut," kata dia.
Baca: Bahlil Klaim Alasan RI Diminati Investor Korsel: Tak Ada Lagi Tukang Palak