Menagih Rp 110,45 Triliun Utang BLBI, Berikut Sederet Faktanya
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 10 September 2021 05:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Penagihan utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 110,45 triliun terus berjalan. Sejak dibentuk Presiden Jokowi pada 9 April 2021, Satgas BLBI telah melakukan panggilan ke sejumlah obligor dan debitur yang berutang ke negara.
Tempo merangkum fakta yang muncul dalam beberapa bulan upaya penagihan utang ini, berikut di antaranya:
1. Total 22 Obligor
Beberapa hari setelah Satgas dibentuk, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan menagih dana BLBI senilai Rp 110 triliun kepada 22 obligor dan debitur.
“BLBI kita sampaikan kepada satgas jumlah Rp 110 triliun terdiri dari obligor 22 pihak dan debitur orang yang pinjam ke bank itu 112 ribu berkas,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers daring APBN KITA di Jakarta, Kamis, 22 April 2021
2. Penyitaan Aset Dimulai
Pada 27 Agustus 2021, penyitaan aset mulai dilakukan. Pemerintah mengambil alih hak penguasaan 49 bidang tanah seluas 5,2 juta meter persegi milik obligor maupun debitur penerima BLBI. "Berlokasi di Medan, Pekanbaru, Bogor, dan Tangerang," ujar Sri Mulyani.
Salah satu aset yang disita pemerintah adalah aset properti di Lippo Karawaci, Tangerang, dengan luas sekitar 25 hektare. Tanah di sana memiliki harga sekitar Rp 2 juta per meter persegi. "Jadi kalau 25 hektare, ini triliunan," ujarnya.
Di luar itu, Satgas juga berencana menyita lagi 1.672 bidang tanah dengan luas total sekitar 15,2 juta meter persegi. "Tersebar di berbagai kota kabupaten di Indonesia," kata Satgas BLBI.
3. Tommy Soeharto hingga Kaharudin Ongko
Salah satu upaya yang dilakukan Satgas yaitu memanggil para obligor lewat pengumuman di koran. "Kalau sudah dipanggil lewat koran, artinya sudah dua kali tidak datang," kata Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban.
<!--more-->
Tempo mencatat panggilan yang diumumkan melalui surat kabar sudah ditujukan kepada 6 orang. Pertama yaitu pengurus PT Timor Putra Nasional, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dan Ronny Hendrarto Ronowicaksono. Tommy dipanggil untuk menyelesaikan utang Rp 2,6 triliun.
Lalu ada juga bekas petinggi PT Bank Umum Nasional Kaharudin Ongko dengan tagihan Rp 8,2 triliun. Selanjutnya bekas petinggi Bank Asia Pacific, Setiawan Harjono dan Hendrawan Harjono, dengan tagihan Rp 3,57 triliun. Lalu terakhir bekas pemilik Bank Pelita Istimarat Agus Anwar.
4. Obligor di Singapura
Tidak semua obligor ada di Indonesia, karena sebagian ada di Singapura. Salah satunya Kaharudin Ongko yang diduga berada di Singapura.
Lalu ada juga obligor lain yang ada di Singapura yaitu bekas pemegang saham Bank Orient Kwan Benny Ahadi yang memiliki utang kepada negara sebesar Rp 157,72 miliar. Ia memenuhi panggilan Satgas.
"Kehadiran melalui video conference, dari Kedutaan Besar RI di Singapura," ujar Direktur Hukum dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, Tri Wahyuningsih Retno Mulyani, dalam keterangan tertulis, Kamis sore, 9 September 2021.
5. Daftar Obligor Prioritas
Dalam perjalanan, beredar dokumen daftar obligor atau debitur dana BLBI yang masuk ke dalam prioritas penanganan Satgas BLBI. "Prioritas penanganan berdasarkan tingkat penagihan, adanya jaminan, dan prakiraan kemampuan membayar," dinukil dari dokumen tersebut, tertanggal 15 April 2021 ini.
Ada tujuh obligor. Pertama, Trijono Gondokusumo dari Bank Putra Surya Perkasa. Dia tercatat memiliki utang Rp 4,89 triliun. Lalu, Kaharudin Ongko. Ketiga, Sjamsul Nursalim dari Bank Dewa Rutji dengan utang Rp 470,66 miliar.
Keempat, Sujanto Gondokusumo dari Bank Dharmala dengan utang Rp 822,25 miliar. Selanjutnya, Hindarto Tantular dan Anton Tantular dari Bank Central Dagang dengan utang Rp 1,47 triliun.
<!--more-->
Keenam, Marimutu Sinivasan dari Group Texmaco dengan utang Rp 31,72 triliun dan US$ 3,91 miliar. Terakhir, Siti Hardianti Rukmana alias Tutut Soeharto. Tercatat perusahaan Tutut antara lain PT Citra Cs, PT Citra Mataram Satriamarga, PT Marga Nurindo Bhakti, dan Pt Citra Bhakti Margatama Persada.
Tutut tercatat memiliki utang Rp 191,62 miliar, Rp 472,48 miliar, Rp 14,79 miliar, dan US$ 6,52 juta. Tempo telah berupaya mengonfirmasi dokumen tersebut kepada Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban. Namun, hingga laporan ini ditulis, pesan dari Tempo belum berbalas.
6. Meringankan APBN
Di luar proses penagihan, berbagai komentar muncul dari berbagai pihak. Direktur Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menilai langkah pemerintah mengejar pengembalian dana BLBI sangat positif. Sebab, kata dia, masalah APBN hari ini sudah sangat berat.
Misalnya saja, beban pembayaran bunga dalam RAPBN 2022 diproyeksikan menembus Rp 400 triliun. "Dengan potensi angka menembus Rp 100 triliun, tentu penyelesaian kasus BLBI ini akan sangat membantu meringankan beban APBN," kata Yusuf dalam keterangan tertulis.
7. Kritik Dahlan Iskan
Sementara, bekas Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan mempertanyakan aset dari debitur dan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang masih bisa dikejar pemerintah saat ini.
"Apakah aset-aset yang diserahkan dulu itu masih bermasalah? Belum sepenuhnya bisa dikuasai dirjen? Kenapa baru sekarang diurus? Bukankah itu sudah 17 tahun?" tulis Dahlan dalam tulisan di laman pribadinya, disway.id.
Dahlan Iskan juga mempertanyakan mengapa aset-aset yang telah diserahkan dalam rangka penyelesaian utang BLBI tidak dijual sekitar tahun 2010, ketika ekonomi sedang bagus dan harga aset sedang baik. Maupun dijual pada sekitar tahun 2015 ketika ekonomi masih bagus.
Meski begitu, ia memuji langkah pemerintah yang menagih piutang BLBI yang nilainya lebih dari Rp 100 triliun. Apalagi, pengejaran itu dinilai tidak pandang bulu.
Baca: Garuda Kalah di Pengadilan Arbitrase London, Begini Tanggapan Kementerian BUMN