Industri Rokok Biarkan Banyak Pekerja Anak di Ladang Perkebunan Tembakau
Reporter
Tempo.co
Editor
Istiqomatul Hayati
Rabu, 25 Agustus 2021 11:39 WIB
Menurut dia, persoalan pekerja anak ini tertutupi dengan CSR Washing yang dilakukan industri rokok. "Mereka menunggangi istilah CSR untuk mencapai tujuan yang bertentangan dengan pembangunan berkelanjutan, ucapnya.
CSR yang dilakukan antara lain, melakukan manuver meraih dukungan publik melalui pendanaan dan keanggotaan di lembaga non-pemerintah seperti Eliminating Child Labour in Tobacco Growing (ECLT) Foundation, yang mengklaim melakukan upaya pencegahan pekerja anak di perkebunan tembakau. Aktivitas ECLT yang seharusnya menegakkan prinsip bisnis dan HAM, cenderung menormalisasi praktik eksploitatif industri terhadap anak dari hulu ke hilir.
Jasra Putra, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyatakan UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 45 B sudah menyatakan, pemerintah, masyarakat, dan orang tua wajib melindungi anak dari segala perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang anak. “Negara harus hadir untuk menarik anak dari pertanian tembakau,” kata Jasra yang menjadi penanggap dalam diskusi itu.
Azhar Zaini, Ketua Yayasan Gagas Mataram, menyatakan tingginya jumlah pekerja anak di Lombok karena ada permintaan dan penawaran dari petani tembakau. Petani tembakau yang tidak sejahtera terpaksa mengurangi ongkos produksi dengan cara melibatkan anak sebagai pekerja. “Persoalan pekerja anak tidak akan selesai jika kesejahteraan petani dan posisi tawar petani tidak kuat,” ujar Azhar.
Menurut Azhar, jika musim panen tembakau tiba, pekerja anak bisa ditemukan di ladang perkebunan hingga 70,4 persen. "Kalau di luar panen tembakau, pekerja anak hanya 9,8 persen," ucapnya.
Namun Azhar menyatakan bahwa kehadiran ECLT yang melakukan studi untuk meneliti tentang pekerja anak haya sekedar pemanis atau lips service, apalagi desa yang didampingi juga hanya sedikit. “Dengan CSR rokok melalui ECLT, seolah-olah industri rokok merasa mereka sudah memenuhi tanggung jawabnya," kata dia.
Mary Assunta, Senior Policy Advisor Seatca mengatakan selama ini industri rokok sekadar melakukan CSR. Mereka tidak melakukan langkah-langkah tegas untuk menghapuskan pekerja anak dan melarang iklan, promosi dan sponsor rokok untuk memasarkan produk rokok.
“Industri rokok harus benar-benar mendapat sanksi dan disinsentif karena tidak menolak adanya pekerja anak di perkebunan tembakau. Ini sangat berbeda dengan perusahaan lain yang secara tegas menolak adanya pekerja anak (zero tolerance). Pada tahun 2025 pekerja anak harus benar-benar dihentikan,” kata Mary.
Baca juga: Menaker Ida: Pemerintah Terus Berkomitmen Hapus Pekerja Anak