AS Bekukan Aset Milik Bank Sentral Afghanistan Rp 138,7 Triliun
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 18 Agustus 2021 11:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat telah membekukan hampir US$ 9,5 miliar atau Rp 138,7 triliun aset milik bank sentral Afghanistan. Selain itu, pengiriman uang tunai ke negara itu juga dicegah agar pemerintah yang kini dipimpin Taliban tak bisa mengakses uang tersebut.
Seorang pejabat pemerintah AS yang mengetahui masalah itu mengatakan bahwa aset bank sentral yang dimiliki pemerintah Afghanistan di negara Abang Sam tersebut tidak akan tersedia untuk Taliban.
Ajmal Ahmady, Penjabat Kepala Da Afghan Bank (DAB) -- bank sentral negara itu -- sebelumnya mengakui bahwa pengiriman dana ini akan berhenti ketika AS mencoba memblokir segala upaya Taliban untuk mendapatkan akses ke dana tersebut sejak Jumat pekan lalu. Hal tersebut disampaikan lewat cuitannya di Twitter.
DAB memiliki aset senilai US$ 9,5 miliar, sebagian besar ada di rekening Federal Reserve New York dan lembaga keuangan yang berbasis di AS. Sanksi AS terhadap Taliban berarti mereka tidak dapat mengakses dana apa pun.
Sebagian besar aset DAB saat ini tidak disimpan di Afghanistan, menurut dua sumber anonim yang mengetahui masalah tersebut. Departemen Keuangan AS menolak berkomentar terkait hal ini.
<!--more-->
Seperti diketahui, pasukan Taliban yang mengambil alih pemerintahan Afganistan dalam waktu singkat serta menimbulkan kekacauan di negara tersebut. Padahal, Amerika Serikat sudah menghabiskan US$ 2,26 triliun atau setara dengan Rp 31.600 (asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS) selama kurang lebih 20 tahun.
Serangan kilat yang dilakukan Taliban menyapu sebanyak kurang lebih 300 ribu tentara Afghanistan yang telah dilatih oleh militer AS dalam kurun waktu sebulan saja. Setelah Taliban memasuki Kabul, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dikabarkan melarikan diri ke Tajikistan dan mengakui bahwa Taliban menang.
Hingga kemarin, 17 Agustus 2021, nilai tukar Afghani turun 1,7 persen menjadi 83,5013 per dolar AS. Ahmady berkata, penurunan tersebut sudah terjadi selama empat hari terakhir dan tidak tertutup kemungkinan masih akan berlanjut. Apalagi, kata ia, sudah tak ada lagi pengiriman Dollar per Jumat kemarin yang membatasi suplai mata uang dan berujung pada kepanikan.
"Nilai tukar naik dari stabil US$ 81 menjadi nyaris US$ 100 lalu turun lagi ke US$ 86. Saya sudah menggelar pertemuan (sebelum kabur) pada Sabtu kemarin untuk meminta bank dan institusi keuangan lainnya menenangkan," ujar Ahmady, Selasa, 17 Agustus 2021.
BISNIS | AL JAZEERA | ISTMAN MP
Baca: BCA Blokir Kartu ATM Magnetic Stripe Awal 2022, Nasabah Diimbau Ganti ke Chip