Pemerintah Bakal Tarik Utang Rp 973,58 Triliun di 2022, Untuk Apa Saja?
Reporter
Tempo.co
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 18 Agustus 2021 07:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Untuk menambal defisit anggaran pendapatan dan belanja negara pada tahun 2022 mendatang, pemerintah berencana akan menarik utang sebesar Rp 973,58 triliun.
Proyeksi pembiayaan utang tersebut turun 5,2 persen ketimbang target yang dipatok dalam APBN 2021 sebesar Rp 1.026,98 triliun. Sebagian besar pembiayaan utang tahun depan akan berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN.
"Kebutuhan pembiayaan utang akan dipenuhi secara pragmatis, oportunistik, fleksibel dan prudent dengan melihat peluang di pasar keuangan," seperti dikutip dari Buku II Nota Keuangan, Rabu, 18 Agustus 2021.
Dalam pembacaan Nota Keuangan sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyebutkan pemerintah telah merencanakan belanja negara sebesar Rp 2.708,7 triliun dalam RAPBN 2022.
Di tahun yang sama, pendapatan negara dipatok di Rp 1.840,7 triliun yang terdiri atas penerimaan perpajakan Rp 1.506,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 333,2 triliun. Dengan begitu, defisit anggaran tahun 2022 diperkirakan bakal mencapai 4,85 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau Rp 868 triliun.
Lebih jauh pemerintah menjelaskan, pembiayaan utang selain berfungsi untuk menutup defisit anggaran juga digunakan untuk membiayai pengeluaran pembiayaan seperti pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, serta kewajiban penjaminan.
Adapun rencana pembiayaan utang pada tahun 2022 sebagian besar dilakukan dalam mata uang rupiah, berbunga tetap, dan dengan tenor menengah-panjang. Untuk menjaga risiko pengelolaan utang dan mendorong efisiensi bunga, pemerintah tetap memanfaatkan fleksibilitas dalam menentukan komposisi portofolio utang yang akan dituangkan lebih lanjut dalam strategi pembiayaan utang.
<!--more-->
Sedikitnya ada tiga arah kebijakan pembiayaan utang tahun depan. Pertama, mengendalikan utang secara fleksibel dan penuh kehati-hatian dengan menjaga rasio utang dalam batas aman.
Kedua, meningkatkan efisiensi biaya utang melalui pendalaman pasar (perluasan basis investor dan mendorong penerbitan obligasi atau sukuk daerah). Ketiga, utang sebagai instrumen menjaga keseimbangan melalui komposisi portofolio utang yang optimal untuk menjaga stabilitas makroekonomi.
Undang-Undang Keuangan Negara sebelumnya mematok batasan maksimal defisit 3 persen dan rasio utang 60 persen terhadap PDB. Saat ini batasan defisit itu terlampaui sebagai imbas upaya penanganan dampak pandemi.
Pemerintah berkomitmen mengembalikan defisit setinggi-tingginya 3 persen terhadap PDB pada tahun 2023. Sementara itu, batasan utang 60 persen terhadap PDB tetap diberlakukan sehingga akumulasi utang tetap manageable dan aman bagi keberlangsungan fiskal jangka panjang.
Dari sisi rasio utang pemerintah terlihat turun dari posisi tahun 2000 sebesar 88,7 persen menjadi kisaran 30,0 persen terhadap PDB pada tahun 2019. Sementara rasio utang berdasarkan APBN 2020 direncanakan turun ke 29,7 persen, namun rasio utang naik pada tahun 2020 seiring dengan peningkatan anggaran untuk membiayai penanggulangan dampak Covid-19.
Penanganan Covid-19 dalam bidang kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, UMKM, pembiayaan korporasi, dan pembiayaan sektoral Kementerian dan Lembaga serta pemerintah daerah mengakibatkan rasio utang meningkat hingga mencapai 39,4 persen.
Baca: Luhut: Sepanjang Sejarah 100 Tahun, Belum Ada Kasus Seperti Ini Parahnya