Beragam Respons Pengusaha Setelah Jokowi Umumkan Perpanjangan PPKM Level 4
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 3 Agustus 2021 09:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Sejumlah pengusaha merespons perpanjangan pemberlakuan kegiatan masyarakat atau PPKM Level 4 mulai 3 hingga 9 Agustus 2021. Pengusaha menilai kebijakan ini memberikan efek ganda bagi perusahaan yang sudah tidak memiliki cadangan kas karena pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.
Berbagai respons itu muncul dari kalangan pengusaha yang bergerak di sektor perhotelan hingga pusat perbelanjaan. Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, misalnya, mengatakan pelaku usaha akan menghadapi kerugian yang besar dan berpotensi gagal bayar.
“Dari rate saja kami sudah turun 30-40 persen. Jadi kalau dibandingkan (dengan sebelum wabah), tidak ada pertumbuhan,” ujar Maulana saat dihubungi, Senin, 2 Agustus 2021. Dihimpun Tempo, berikut ini ragam tanggapan dari pengusaha tersebut.
1. Apindo minta tarif listrik minimal dihapus
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo Haryadi Sukamdani mengatakan PPKM Level 4 telah memberikan dampak berlapis karena perusahaan tidak lagi memiliki cadangan kas. Di tengah menurunnya kegiatan ekonomi yang drastis, perusahaan tetap menanggung beban untuk membayar tarif listrik minimal.
“Bantuan yang selama ini diberikan terhadap perusahaan terdampak tidak membantu. Memang semua orang ingin bebannya diringankan. Tapi problemnya korporasi yang menghadapi masalah malah tidak tersentuh signifikan, seperti listrik,” ujar Haryadi.
Haryadi memberikan contoh pengusaha di sektor pusat perbelanjaan yang usahanya ditutup selama PPKM Level 4. Para pelaku usaha di bidang itu tetap harus membayar tarif listrik minimal, padahal tempat usahanya hampir tidak beroperasi.
Pengusaha sejatinya telah mengajukan keringanan pembayaran tarif listrik sejak tahun lalu, namun pemerintah tidak memberikan respons. Adapun bantuan pemerintah untuk diskon listrik hanya diberikan kepada pengusaha skala kecil yang besaran dayanya berkisar 450 VA dan 900 VA.
“Jadi kami minta jangan sampai ada pemutusan sambungan listrik,” ujar Haryadi. Selain tarif listrik minimal, Haryadi mempertanyakan pungutan penerangan jalan umum atau PJU sebesar 5 persen. Dalam situasi sulit, ia mengungkapkan seharusnya pemerintah tidak membebani pengusaha dengan pungutan tersebut.
<!--more-->
2. Pengusaha pusat perbelanjaan rugi Rp 5 triliun
Pengelola pusat perbelanjaan ditengarai menanggung kerugian hingga Rp 5 triliun per bulan sejak PPKM Darurat berlangsung pada 3 Juli lalu dan diperpanjang dengan PPKM Level 4 hingga 2 Agustus. Kerugian berasal dari menurunnya potensi pendapatan pelaku usaha.
“Nilai tersebut adalah pendapatan yang diterima oleh pusat perbelanjaan dan bukan nilai penjualan,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja.
Selama pusat perbelanjaan tidak beroperasi, pengelola masih tetap harus membayar berbagai pungutan dan pajak atau retribusi yang dibebankan oleh pemerintah. Beban itu meliputi biaya listrik dan gas. Kendati tidak ada pemakaian, Alphonzus mengatakan pelaku usaha harus tetap membayar tagihan lantaran adanya ketentuan pemakaian minimum.
Selain itu, pelaku usaha masih terbebani dengan pajak bumi dan bangunan, pajak reklame, hingga royalti dan retribusi lainnya. Beban ini harus dibayar penuh kendati pusat perbelanjaan berhenti beroperasi.
PPKM Darurat dan Level 4 memberikan beban berganda lantaran pusat perbelanjaan yang mengalami kondisi keuangan yang berat akibat pandemi Covid-19 berlangsung berkepanjangan. Meski terjadi perbaikan kegiatan ekonomi pada semester I 2021, keuangan pusat perbelanjaan masih defisit.
“Pusat perbelanjaan tetap mengalami defisit karena masih diberlakukannya pembatasan jumlah pengunjung dengan kapasitas maksimal 50 persen (sebelum PPKM Darurat dan Level 4),” kata Alphonzus.
<!--more-->
3. PHRI minta keadilan
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran meminta pemerintah mengambil kebijakan yang adil. Keadilan itu, misalnya, merelaksasi kegiatan ekonomi di hotel dan restoran layaknya aktivitas di pasar tradisional.
“Yang diperhatikan hanya pasar tradisional, warteg, mereka boleh buka. Tapi kegiatan di hotel, ballroom, tidak boleh. Jangan sampai ada diskriminasi,” ujar Maulana.
Maulana mengungkapkan, selama ini hotel dan restoran menerapkan protokol kesehatan yang ketat dalam mengatur tamunya agar penyebaran Covid-19 dapat diantisipasi. Hotel dan restoran bahkan telah mengantongi sertifikat CHSE sebagai standar penerapan protokol di tengah pandemi.
Namun, ia menyayangkan pemerintah tidak mempertimbangkan upaya pelaku usaha hotel dan restoran dalam mematuhi peraturan protokol kesehatan tersebut. Pemerintah, kata Mualana, malah melonggarkan kegiatan di ruang-ruang yang berpotensi mempertemukan banyak orang dan berisiko meningkatkan penularan Covid-19.
“Ada tempat-tempat usaha yang protokolnya ketat, sesuai (aturan), namun tidak dibuka (kegiatan ekonominya). Dalam hal mengeluarkan kebijakan ini tidak fair,” kata Maulana.
BACA: Sebelum PPKM Ditambah Keterisian RS Pasien Covid-19 di Jakarta Tinggal 56 Persen
FRANCISCA CHRISTY ROSANA