Perusahaan Alat Kesehatan Ungkap Kendala Pasokan Meski Jumlah Produsen Bertambah
Reporter
Bisnis.com
Editor
Kodrat Setiawan
Selasa, 29 Juni 2021 13:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku usaha masih menghadapi sejumlah kendala dalam memasok alat kesehatan untuk kebutuhan dalam negeri di tengah pandemi Covid-19, baik lewat impor maupun pengadaan dari dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy H. Teguh mengatakan naiknya jumlah produsen alat kesehatan di dalam negeri tidak lantas membuat pasokan alkes melimpah.
Dia menjabarkan bahwa izin usaha produksi alkes naik dari sekitar 200 usaha pada 2019 menjadi sekitar 500 usaha jika mengacu pada penerbitan izin dari Kementerian Kesehatan. Namun, Randy mengatakan penambahan usaha baru masih didominasi oleh alat kesehatan dengan adopsi teknologi rendah.
“Untuk industri baru dengan adopsi teknologi tinggi masih terbatas. Memang untuk pendalaman industri alat kesehatan tidak semudah membalik tangan,” kata Randy kepada Bisnis, Senin, 28 Juni 2021.
Dia mengatakan sejatinya telah banyak minat pelaku usaha untuk mulai produksi alat kesehatan di dalam negeri. Namun, terdapat kendala ekosistem, terutama dari sisi pengadaan bahan baku.
Sebagian besar bahan baku untuk industri alat kesehatan sendiri berasal dari negara-negara produsen utama seperti Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Hanya saja, perakitan bahan baku di dalam negeri justru bisa menghasilkan produk jadi dengan harga lebih tinggi dibandingkan dengan impor barang jadi.
<!--more-->
“Kebanyakan negara-negara pemasok ini mengenakan pajak yang tinggi untuk ekspor bahan baku. Akhirnya kalau dihitung-hitung justru lebih mahal dibandingkan dengan impor barang jadi. Jika demikian [lebih mahal] tentu rumah sakit akan keberatan dengan harga produk yang lebih mahal,” kata Randy.
Sementara untuk importasi, Randy menyebutkan kendala yang kerap dihadapi adalah masa pemesanan yang terbatas karena proses melalui e-katalog kerap terlambat.
Rumah sakit membeli produk melalui katalog daring yang disediakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. “Karena penayangan di katalog terlambat, bisa sampai 6 bulan, kami hanya punya 1 semester untuk persiapan. Kami khawatir dari produsen tidak bisa antisipasi karena skema impor biasanya hanya dilakukan jika ada permintaan,” paparnya.
Terpisah, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan bahwa kebijakan kemudahan impor untuk alat kesehatan akan dipertahankan. Kelancaran rantai nilai produk-produk penting dalam penanganan Covid-19 sendiri telah menjadi norma yang disepakati negara-negara di dunia.
“Semua negara keluar dari tupoksi biasa karena ini masalah luar biasa dan kita harus address secara luar biasa. Kita juga tidak bisa mengganggu mata rantai atau tambahan biaya dalam perdagangan karena menyangkut kepentingan kemanusiaan,” kata Lutfi.
Mengutip data Kementerian Kesehatan, dari 496 jenis alat kesehatan yang ditransaksikan dalam e-katalog pada 2019 sampai 2020, hanya 152 jenis produk yang bisa diproduksi di dalam negeri. Sementara 344 jenis produk lainnya masih dipenuhi lewat impor.
BISNIS
Baca juga: Anggaran Alat Kesehatan Rp 490 T, Luhut Sebut Bisa Hemat Rp 300 T Jika...