Seruan Ekonom hingga Politikus yang Minta Jokowi Tetapkan Lockdown
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Eko Ari Wibowo
Jumat, 25 Juni 2021 04:07 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Sejumlah tokoh publik meminta Presiden Joko Widodo alias Jokowi menetapkan kebijakan lockdown atau pembatasan kegiatan masyarakat secara total. Permintaan ini muncul setelah kasus Covid-19 melonjak signifikan akibat merebaknya varian baru virus corona delta.
Mulai ekonom, pakar kesehatan, hingga politikus, masing-masing memiliki pertimbangan atas permintaannya tersebut.
1. Ekonom Faisal Basri
Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengkritik langkah pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 yang masih terus menyeimbangkan sisi ekonomi dan kesehatan di tengah merebaknya varian baru virus Corona. Semestinya menurut dia, penanganan wabah mutlak dilakukan dari sisi kesehatan.
“Pak Presiden (Jokowi) tolong jangan bicara rem, gas, rem gas. Sekarang rem paling ampuh adalah lockdown. Tapi ini kan enggak akan dilakukan,” ujar Faisal dalam diskusi daring, Ahad, 20 Juni lalu.
Faisal menyayangkan sikap pemerintah yang lebih banyak membicarakan masalah perbaikan ekonomi ketimbang mengatasi krisis kesehatan. Kondisi itu terjadi karena penanganan pandemi Covid-19 masih dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Di tengah meningkatnya kasus Covid-19, wewenang Menteri Kesehatan pun seolah-olah kalah. “Dulu saya optimistis dengan Menteri Kesehatan yang baru. Tapi kelihatannya sekarang kalah pamor karena dari segi komando dia (Menteri Kesehatan) di bawah Menko Perekonomian,” ujar Faisal.
Padahal berdasarkan konsensus ekonom dunia, Faisal menyebut krisis kesehatan harus lebih dulu diselesaikan sebagai persyaratan pemulihan ekonomi. Bila krisis dari sisi kesehatan tak tertangani dengan baik, ongkos pemulihan pasca-Covid 19 akan semakin mahal.
“Konsepnya adalah kemutlakan kesehatan diselesaikan. Urusan menteri-menteri ekonomi adalah mencari uang kalau perlu mencari utang untuk menyelesaikan ini semua kalau recovery terjadi,” ujar Faisal.
2. Ekonom Bhima Yudhistira
Ekonom Institute of Development on Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menyarankan pemerintah segera mengambil kebijakan lockdown. Bhima mengatakan lockdown akan menekan risiko kerugian ekonomi.
“Kami kalkulasikan lockdown nasional sekurang-kurangnya membutuhkan biaya Rp 11-25 triliun selama 14 hari,” ujar Bhima.
Kkhusus di Jakarta, Bhima mengasumsikan kebutuhan anggaran pemerintah untuk lockdown mencapai Rp 550 miliar. Sedangkan bila dilaksanakan dua pekan, kebijakan pembatasan total di Ibu Kota memerlukan dana sampai Rp 7,7 triliun. Bhima menghitung Jakarta memiliki kontribusi 70 persen terhadap perputaran uang nasional.
Adapun jika skenario lockdown dilaksanakan dalam dua pekan selama pekan terakhir Juni sampai Juli, risiko Indonesia untuk kehilangan pendapatan domestik bruto atau PDB berkisar Rp 77-308 triliun. Dengan kondisi ini, Indonesia akan mencapai pertumbuhan ekonomi 3-4,5 persen pada akhir 2021.
Namun bila Indonesia tidak melakukan lockdown, Bhima memprediksi risiko kehilangan PDB akan lebih besar mencapai Rp Rp 463-848 triliun. Dengan skenario tanpa lockdown, pertumbuhan ekonomi Indnoesia akan kembali terkontraksi 0,5 persen atau paling moncer berada di jalur positif 2 persen.
“Jadi kenapa tidak di-lockdown saja, biayanya lebih murah dibandingkan dengan kerugian ekonominya. Setelah lockdown berhasil, ekonomi bisa tumbuh lebih solid. Jangan kondisi darurat, tapi kebijakannya nanggung,” ujar Bhima.
3. Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra
Anggota Dewan Pakar IAKMI Hermawan Saputra mendorong pemerintah segera mengambil kebijakan luar biasa untuk menangani pandemi Covid-19, yaitu lockdown. Hermawan menilai, pemerintah memiliki dua opsi, yakni pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara nasional atau lockdown atau penguncian wilayah secara regional seperti di Pulau Jawa, Kalimantan, atau Sumatera.
"Usul yang paling radikal yaitu lockdown regional. Ini bentuk paling logis. Karena seluruh negara yang sudah melewati kasus, tidak ada cara lain," ujar Hermawan. Hermawan melihat, dalam kondisi seperti ini, pemerintah tidak bisa lagi mengharapkan ekonomi dan kesehatan berjalan selaras.
"Tidak mungkin memenangkan dua-duanya. Perlu memutus salah satu sebagai prioritas dan harus ada extraordinary initiative atau extraordinary policy making," ucap Hermawan.
Sebab, jika pemerintah menunjukkan sikap yang inkonsisten, maka Indonesia tak akan pernah keluar dari pandemi Covid-19. "Rem, gas, rem, gas, rem dan gas, itu adalah kebijakan yang terkatung-katung yang membuat kita hanya menunda bom waktu saja karena tidak mampu memutus mata rantai Covid-19," kata Hermawan.
4. Politikus PAN Saleh Partaonan Daulay
Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI Saleh Partaonan Daulay menyarankan aar pemerintah memikirkan opsi lockdown wilayah pada akhir pekan. "Saya sejak awal menawarkan kebijakan lockdown di akhir pekan, yaitu sejak Jumat sore, seluruh masyarakat tidak diperbolehkan keluar rumah sampai Senin pagi, sehingga diharapkan tidak terjadi penyebaran Covid-19. Saya minta Pemerintah tolong (usulan) ini dipikirkan," kata Saleh.
Dia menilai seluruh kebijakan yang sudah diambil pemerintah saat ini terkait penanganan Covid-19 harus dievaluasi dengan baik sebab sudah lama diterapkan. Saleh mencontohkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sudah dilakukan. Namun hasilnya kurang maksimal lalu berubah menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berjilid-jilid.
"Ibarat buku, ini sudah mau khatam, namun hasilnya tidak maksimal, bahkan kita sedang berada pada masa khawatir sekali terkait dengan penyebaran Covid-19. Misalnya di Bangkalan dan Kudus sudah mengkhawatirkan sekali," tutur dia.
5. Relawan bantu warga Lapor Covid-19
Kelompok relawan bantu warga Lapor Covid-19 membuat petisi daring yang meminta Jokowi segera melakukan lockdown. Petisi yang dibuat pada Jumat, 18 Juni 2021 itu tercatat ditandatangani oleh lebih dari 850 orang.
"Alasan petisi dibuat karena lonjakan kasus dampak tidak adanya pembatasan super ketat pra lebaran hingga sekarang," ujar Co-Founder Lapor Covid-19 Irma Hidayana, 18 Juni lalu.
Irma menjelaskan pariwisata yang terus berjalan serta lemahnya pelaksanaan 3T (testing, tracing, dan treatment) di Indonesia memperparah kondisi saat ini. Apalagi, ia menilai, vaksinasi berjalan secara lambat dan tak sesuai dengan anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Seharusnya, Irma menilai, vaksinasi diprioritaskan bagi kelompok rentan Covid-19 dan mereka yang tinggal di daerah tinggi infeksi. "Justru selebgram, YouTuber, dan lain-lain yang masih muda-muda dan sehat malah disuntik vaksin saat belum semua lansia tervaksin," kata Irma.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | ANDITA RAHMA | EGI ADYATAMA | ANTARA
Baca juga: Catat Rekor Baru, Kasus Baru Covid-19 Tembus 20 Ribu