BPK Soroti Utang Pemerintah, Ekonom Sarankan Jokowi Lakukan Renegosiasi
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Dewi Rina Cahyani
Kamis, 24 Juni 2021 15:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyarankan pemerintah melakukan negosiasi ulang alias renegosiasi utang dengan para kreditor. Langkah itu juga dijajaki oleh banyak negara untuk mengurangi beban di tengah pandemi.
"Ruang itu terbuka. Bank Dunia dan IMF menyerukan untuk mengurangi beban utang di masa pandemi. Indonesia ini bukan negara maju, melainkan negara berpendapatan menengah ke bawah, sehingga layak melakukan renegosiasi utang dengan para kreditor," kata Bhima kepada Tempo, Kamis, 24 Juni 2021.
Dengan melakukan renegosiasi atau restrukturisasi, beban utang tidak terus meningkat. Sehingga, ruang fiskal bisa digunakan untuk belanja lainnya. "Jadi minta penangguhan utang hingga 2022 bahkan sampai 2023 untuk pembayaran bunga utang dimoratorium."
Bhima mengatakan level utang pemerintah sudah pada level yang membahayakan atau sangat mengkhawatirkan dari berbagai indikator. Misalnya, debt to service ratio atau kemampuan membayar utang pemerintah dibandingkan utang negara itu sudah di atas 50 persen pada 2020. Hal ini mengakibatkan pemerintah harus membayar bunga utang yang lebih mahal untuk mendapatkan pinjaman baru.
"Kalau kita melihat tren dari beban bunga utang yang harus dibayarkan itu kalau dibandingkan penerimaan pajak tahun 2021 saja, itu sudah mencapai 25 persen. Atau 19 persen dari penerimaan perpajakan total," tutur dia.
Untuk penerimaan pajak saja, seperempat dari penerimaan pajak sudah habis untuk membayar bunga utang yang sebesar Rp 373 triliun per tahun. "Ini akan menjadi beban tidak hanya pada APBN tahun berjalan, tapi juga beban perekonomian jangka panjang," kata Bhima.
<!--more-->
Dia menyoroti pula pemerintah yang menerbitkan surat utang dengan tenor jatuh tempo pada tahun 2070. Artinya, sepanjang 50 tahun ke depan Indonesia masih akan melanjutkan pembiayaan utang untuk membayar utang yang jatuh tempo.
"Pertanyaannya, utangnya untuk apa saja. Ternyata paling besar bukan belanja kesehatan di tengah pandemi, namun belanja birokratis seperti belanja pegawai dan belanja barang. Itu menjadi pemborosan dan tidak efektif," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menyampaikan hasil laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2020. Dalam hasil kajiannya, BPK menyoroti risiko peningkatan utang pemerintah selama pandemi Covid-19.
“Tren penambahan utang pemerintah serta biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) dan penerimaan negara sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” ujar Agung dalam webinar, Selasa, 22 Juni 2021.
Posisi utang pemerintah pada Desember 2020 mencapai Rp 6.074,56 triliun atau meningkat tajam ketimbang tahun sebelumnya dengan defisit neraca APBN 6,27 persen. Pada 2019, utang pemerintah berjumlah Rp 4.778 triliun.
CAESAR AKBAR | FRANCISCA CHRISTY