Politikus PDIP Pertanyakan Standar BPK Soal Kemampuan Pemerintah Bayar Utang
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Martha Warta Silaban
Kamis, 24 Juni 2021 12:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota komisi keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Eriko Sotarduga mempertanyakan standar yang digunakan Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK dalam menentukan tingkat solvabilitas utang Indonesia. Hal ini berkaitan dengan hasil kajian BPK yang menyoroti risiko peningkatan utang pemerintah selama pandemi Covid-19.
Laporan BPK menyatakan rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen. Penambahan utang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.
"Dalam hal ini saya mempertanyakan standar apa yang digunakan oleh BPK dalam menentukan tingkat solvabilitas utang Indonesia? Ini harus dapat dibuktikan secara akuntabel," ujar Eriko dalam keterangan tertulis, Rabu, 23 Juni 2021.
Politikus PDIP itu meminta BPK menjelaskan, misalnya berapa banyak utang yang jatuh tempo sehingga dapat menyebabkan pemerintah gagal bayar. Pernyataan itu pun, menurut dia, harus didukung oleh rilis resmi mengenai tata Kelola keuangan negara agar tidak terjadi misleading informasi.
"Memang harus diakui rasio utang Indonesia meningkat, baik dan buruk ini tentu saja relatif. Karena itu, BPK harus dapat menunjukkan sisi mana yang berbahaya? Apakah pengelolaan utang Indonesia sesuai dengan standar akuntabilitas keuangan negara?" ujar dia.<!--more-->
Pasalnya, kata Eriko, pemerintah sudah mempersiapkan pembayaran SBN dan sebagian besar utang pemerintah berupa SBN. "Kemudian solusi apa yang ditawarkan oleh BPK untuk mengatasi kenaikan rasio utang di tengah pandemi ini?" ujar Eriko.
Eriko berujar dalam situasi pandemi ini hampir seluruh negara di dunia berjuang melawan pandemi dengan memberikan berbagai stimulus kepada masyakaratnya. Di Indonesia, tutur dia, perjuangan dilakukan melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional.
"Menanggapi rasio utang yang dijabarkan oleh BPK bila dikomparasikan dengan negara tetangga di Kawasan Asia Tenggara, rasio utang terhadap PDB Indonesia jauh lebih rendah, yakni hanya 46,77 persen . Kita dapat bandingkan dengan dengan Singapura di 154 persen, Malaysia 64,62 persen, Filipina 60,4 persen dan Thailand 47,28 persen," kata dia.
Apalagi, lanjutnya, jika dibandingkan dengan sejumlah negara maju seperti Amerika, Cina dan Jepang yang mencapai rasio utang terhadap PDB di atas 100 persen, ia menilai Indonesia masih cenderung konservatif dalam hal utang.
"Selama batas rasio utang masih mengacu berdasarkan UU Keuangan Negara yang telah ditetapkan, yakni 60 persen, itu masih dapat dikatan aman. Namun jika BPK mengacu pada standar yang ditetapkan oleh IMF tentu itu harus dapat dijelaskan secara akuntabel di sisi sebelah mana utang Indonesia dapat dikatakan sudah berbahaya?"
Baca Juga: BPK Temukan Rp 75 Triliun Investasi Asing Diduga Bermasalah