5 Fakta Tunjangan Pegawai Pajak Bisa Capai Rp 152 Juta
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Martha Warta Silaban
Kamis, 4 Maret 2021 12:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian tengah dirundung masalah setelah terungkapnya dugaan korupsi berupa penerimaan suap yang dilakukan oleh pejabat mereka. KPK telah menetapkan tersangka yang akan diumumkan saat penahanan.
"Ini jelas merupakan pengkhianatan," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers virtual, Rabu, 3 Maret 2021.
Kasus ini pun kembali membuat remunerasi atau tunjangan di Ditjen Pajak yang tinggi menuai sorotan. Tempo merangkum beberapa fakta di dalamnya.
1. Tunjangan Tiap Bulan
Terakhir, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2017 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Ini adalah revisi dari Perpres Nomor 37 Tahun 2015.
Dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa pegawai yang mempunyai jabatan di lingkungan Ditjen diberikan tunjangan kinerja setiap bulan.
2. 30 Persen Lebih Tinggi
Pemberian tunjangan ini dilakukan berdasarkan dua aspek yaitu kinerja organisasi dan kinerja pegawai. Nantinya, kedua kriteria akan digunakan untuk menghitung tunjangan yang dibayarkan.
Untuk nominal tunjangan sebenarnya masih mengacu pada Perpres 2015. Tapi dalam Perpres 2017, pasal 2 ayat 4 mengalami perubahan. Dalam beleid yang baru, tunjangan dapat diberikan 10 persen lebih rendah atau 30 persen lebih tinggi dari nominal di Perpres 2015.
"Dengan memperhatikan keadaan keuangan negara," demikian tertulis dalam pasal tersebut.<!--more-->
3. Tunjangan Rp 152 Juta
Dalam daftar nominal tunjangan, pejabat tertinggi yaitu eselon I mendapatkan Rp 117,3 juta. Sementara yang terendah yaitu level pelaksana sebesar Rp 5,3 juta.
Tapi karena ada ketentuan 30 persen pada Pepres baru, maka pejabat eselon I bisa membawa pulang tunjangan hingga Rp 152 juta. Sementara yang paling rendah dapat mengantongi tunjangan Rp 6,9 Juta.
4. Mau Dikasih Berapapun, Susah
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira pun menyoroti hal ini. Menurut dia, kasus suap pajak menunjukkan bahwa persoalan rasuah di pemerintahan tidak selesai hanya dengan menaikkan remunerasi pegawai.
"Masalah utama tidak bisa diselesaikan dengan jalan remunerasi. Mau dikasih sebesar apapun kalau celah korupnya masih ada, susah juga," ujar Bhima kepada Tempo, Rabu, 3 Maret 2021.
5. Setoran Miliaran
Tapi, nilai dugaan suap pajak yang melilit pejabat pajak jauh lebih besar. Sumber yang mengetahui penyidikan kasus ini menyebutkan beberapa praktik yang terjadi.
Salah satunya, ada perusahaan perbankan yang diduga memiliki nilai Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebesar Rp 300 miliar. Perusahaan ini diduga memberikan duit kepada pejabat pajak sebesar Rp 5 miliar. Ada juga perusahaan perkebunan yang memiliki nilai SKP Rp 15 miliar sampai Rp 20 miliar, yang diduga menyetor duit sebanyak Rp 15 miliar.