Setahun Corona: Ekonomi RI di Lembah Resesi
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Martha Warta Silaban
Selasa, 2 Maret 2021 17:07 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Hari ini tepat setahun corona, sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus Covid-19 pertama di Tanah Air.
Pandemi Covid-19 telah meluluh-lantakkan perekonomian Indonesia sepanjang tahun 2020 lalu. Untuk pertama kalinya sejak krisis 1998, Indonesia terperosok ke jurang resesi dengan pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi dua kali berturut-turut. Yakni sebesar -5,32 persen pada kuartal II dan -3,49 persen pada kuartal III secara year on year.
Para pakar ekonomi menilai krisis yang terjadi akibat pandemi merupakan yang terburuk lantaran berbagai sektor, khususnya yang bergerak di bidang jasa, hampir mandek. Indonesia juga banyak kehilangan momentum untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, khususnya di masa Ramadan, Lebaran, libur sekolah, dan libur akhir tahun.
Baca Juga: Setahun Corona: Dari Guyonan Nasi Kucing, Panic Buying, PSBB, hingga Resesi
Memburuknya perekonomian Indonesia dimulai sejak pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar pada awal April 2020. PSBB dimulai di Jakarta pada 10 April 2021 dan diikuti daerah lain dengan peningkatan kasus Covid-19 tertinggi, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten.
Dengan aturan PSBB, aktivitas ekonomi yang menyangkut pergerakan manusia dibatasi. Sejumlah fasilitas umum pun ditutup dan kegiatan sekolah serta perkantoran dilakukan dari rumah. Sarana hiburan seperti tempat pariwisata, bioskop, taman bermain, salon, spa, dan kegiatan yang mempertemukan banyak orang dalam satu tempat tidak boleh beroperasi.
Restoran dan kafe hanya dapat melayani pembeli untuk kebutuhan take away atau dibawa pulang. Pemerintah menetapkan hanya ada sebelas sektor ekonomi yang diizinkan beroperasi dengan syarat tertentu selama PSBB berlangsung. Sektor itu meliputi kesehatan, energi, bahan pangan, komunikasi dan teknologi informasi, keuangan, logistik, perhotelan, konstruksi, dan publik serta industri yang ditetapkan sebagai objek vital nasional.<!--more-->
Di bidang transportasi, pemerintah sempat menerapkan larangan mudik yang berlaku selama Ramadan hingga awal Juni 2020. Masyarakat yang boleh bepergian ialah mereka yang memiliki kebutuhan mendesak, seperti bisnis esensial, warga yang orang tua maupun kerabat dekatnya sakit, WNI yang hendak pulang ke kampung halamannya setelah melakukan perjalanan repatriasi atau pemulangan, dan pejabat publik dibuktikan dengan dokumen perjalanan tertentu.
Praktis kondisi ini mengakibatkan sisi produksi di sektor usaha transportasi dan pergudangan anjlok 29,22 persen. Maskapai nasional Garuda Indonesia mencatatkan okupansi penumpangnya tinggal 10 persen. Menurunnya pergerakan penumpang pesawat turut berdampak terhadap pendapatan bandara. Sepanjang semester I, pendapatan bandara langsung drop hampir 50 persen. PT Angkasa Pura I, misalnya, mencatat pendapatan perusahaannya melorot 49 persen secara year on year.
Di Bali, pandemi pada paruh pertama 2020 telah membuat daerah yang bertopang pada sektor pariwisata itu menanggung kerugian mendalam. Kerugian disebabkan oleh kunjungan wisatawan, khususnya wisatawan asing, yang anjlok hingga 99 persen. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada 9 Oktober 2020 lalu menyampaikan kerugian Bali pada masa PSBB ketat semester I mencapai Rp 9 triliun per bulan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS, pertumbuhan industri sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum mengalami kontraki sebesar -22,31 persen selama kuartal I. Sedangkan sektor jasa Lainnya amblas -15,12 persen.
Tekanan juga menimpa sektor manufaktur. Kementerian Perindustrian mencatat purchasing managers index atau PMII melemah hampir empat poin dari 50,8 menjadi 47,2.
Pelemahan di berbagai sektor membuat gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK meruak. Per 2 Juni, Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan angka PHK meningkat menjadi 3,05 juta. Kalau pun tidak di-PHK, jutaan pekerja lainnya mengalami penurunan pendapatan.<!--more-->
Pekerja di sektor pariwisata tercatat paling banyak terkena pemecatan. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI merekam hotel yang tutup sepanjang PSBB ketat mencapai lebih dari 1.200 sehingga ratusan ribu karyawan terdampak imbasnya. Selain pekerja pariwisata, pelaku usaha yang bergerak di sektor UMKM turut kehilangan pekerjaannya.
Di pasar spot, resesi membuat saham emiten-emiten terdampak Covid-19 rontok. Garuda Indonesia alias GIAA, contohnya, mengalami penurunan harga saham menjadi Rp 195 per lembar saham. Sebelum pandemi, saham emiten ini sempat menyentuh Rp 400 per lembar. Saham PT Blue Bird TBk tak kalah amblas. Emiten berkode BIRD itu mengalami pelemahan harga saham hingga Rp 99 per lembar.
Kondisi pelamahan ekonomi masih berlanjut di kuartal III. Meski tak sedalam kuartal sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat masih mengalami kontraksi cukup dalam sebesar -3,49 persen secara year on year.
Sumber kontraksi pertumbuhan ekonomi para kuartal III bermuasal dari melemahnya konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga terdata mengalami pertumbuhan -4,04 persen secara year on year. Meski angkanya lebih baik dari kuartal II, kontraksi ini menggoyang perekonomian karena keberadaannya memiliki bobot sebagai penggerak perekonomian hingga 57 persen.
Kondisi perekonomian yang masih lemah salah satunya didorong oleh sektor kegiatan usaha transportasi dan pergudangan yang belum menunjukkan gejala pulih. Sektor ini lagi-lagi mengalami kontraksi yang terdalam dengan laju pertumbuhan -16,7 persen. Sedangkan dari sisi pengeluaran, komponen ekspor barang dan jasa mengalami kontraksi pertumbuhan -10,82 persen.
Resesi terjadi seiring dengan diperpanjangnya masa PSBB di kota-kota yang termasuk dalam zona merah. Kondisi pada kuartal III ini belum menunjukkan adanya perbaikan signifikan, malahan diperparah dengan meningkatnya angka kasus Covid-19 setelah pemerintah melonggarkan kegiatan ekonomi dan mobilisasi penduduk pada libur panjang akhir Agustus.<!--more-->
Kebijakan PSBB ketat yang kembali diterapkan September 2020 membuat indeks harga saham gabungan atau IHSG kembali amblas di posisi 5.000-an. Saham-saham emiten kembali jeblok, khususnya bidang yang terdampak.
Resesi terus berlanjut pada akhir 2020. Pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti yang diperkirakan, kembali mengalami kontraksi pada kuartal terakhir sebesar -2,19 persen. Kendati pelbagai sektor sudah mengalami pemulihan, badai PHK masih tak bisa terhindarkan.
Sepanjang 2020, BPS melaporkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mengalami kenaikan dari 5,23 persen menjadi 7,07%. Dilihat berdasarkan lokasinya, pengangguran di kota lebih tinggi lonjakannya ketimbang di desa. Di kota, tingkat pengangguran naik sebesar 2,69 persen, sedangkan di desa 0,79 persen.
Meski sejumlah sektor lesu, beberapa bidang justru berhasil mengambil momentum. Sektor-sektor yang moncer selama pandemi ialah usaha yang bergerak di bidang pertanian, kesehatan, hingga telekomunikasi. BPS melaporkan, selama 2020, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial tumbuh 11,6 persen lebih tinggi dibandingkan dengan 2019. Sedangkan sektor komunikasi dan informatika menguat 10,58 persen.
Pandemi juga mendorong munculnya inovasi dan kreasi baru, contohnya tren penjualan tanaman hias. Dengan peningkatan kegiatan, darurat ekonomi karena pandemi diharapkan bisa mereda pada 2021. Pemerintah meyakini ekonomi bergerak ke arah lebih positif sepanjang 2021 meski belum sepenuhnya pulih seperti masa sebelum pandemi. Semoga setelah setahun corona.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA