Cerita Dahlan Iskan Awalnya Enggan ke Rumah Sakit saat Diduga Terkena Covid-19
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Minggu, 17 Januari 2021 11:48 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN Dahlan Iskan mengaku awalnya tak mau masuk rumah sakit ketika belum dinyatakan positif Covid-19. Pasalnya, dari informasi yang didapatnya, kondisi di rumah sakit justru berbahaya.
"Toh tidak ada keluhan yang berat. Hanya batuk-batuk kecil. Tidak demam. Sambal istri saya masih terasa pedasnya. Masih menitikkan air liur," tulis Dahlan dalam DI's Way, Selasa, 12 Januari 2021.
Tapi karena kedua anaknya memaksa dan memang kebetulan ada satu kamar baru kosong di RS langganan keluarga, Dahlan tak bisa berbuat banyak. Singkat cerita ia kemudian dinyatakan positif Covid-19 dan dirawat di rumah sakit pada hari Senin pekan lalu, 11 Januari 2021.
Dahlan kemudian menceritakan pengalamannya dalam catatan yang runtut dan panjang. Banyak kisah yang dia tuangkan dalam ceritanya tersebut. Mulai suka duka menjadi pasien hingga petemuannya dengan dokter Hanny Handoko.
Selama di RS, Dahlan mengaku nyaris tak melakukan banyak kegiatan. Begitu tiba di rumah sakit, ia langsung tidur sembari diinfus vitamin. "Jam 04.00 terbangun. Mau kencing. Saya lihat botol infusnya kosong. Saya hubungi perawat. Diganti infus baru dengan isi yang sama," katanya.
Pada keesokan pagi harinya, perawat mengecek kondisi badan Dahlan. Dia diperiksa mulai dari tekanan darah hingga suhu badan. Setelah itu, suster mencopot infusnya.
Ada segmen cerita yang cukup menarik dari rangkaian kisah Dahlan itu terjadi sewaktu dia bertemu dengan Dokter Hanny Handoko. Salah satu dokter ahli paru dari Unair, Surabaya yang pernah memperdalam ilmunya di National University Hospital (NUH) dan Tan Tock Seng Novena.
Percakapan antara Dahlan dan Dokter Hanny bermula dari rasa penasarannya tentang stetoskop yang digunakan dokter tersebut. Dia heran stetoskop yang digunakan di luar kelaziman.
Di tengah selang stetoskop, ada seperti power bank ukuran lontong yang belakangan diketahui merupakan booster suara agar suara paru-paru terdengar jelas. Alat buatan Cina ini baru dipakai sejak pandemi Covid-19.
Ditambah dengan headset yang dihubungkan dengan stetoskop tersebut, dokter bisa mendengarkan suara paru-paru tanpa terhalang APD meskipun telinganya tertutup rapat.
<!--more-->
Sebelum Dahlan bertanya, Dokter Hanny justru duluan bercerita. "Kita pernah bertemu di Malang," katanya. Lama sekali. Mungkin 20 tahun lalu.
Waktu itu dokter Hanny menjadi pejabat di bawah wali kota Malang. Sebelum akhirnya berlabuh di RSAL Surabaya dan sekarang di RS swasta. Setelah diperiksa, dokter bilang Dahlan kekurangan vitamin D.
"Aneh. Benar-benar aneh. Setiap hari saya olahraga satu jam. Di lapangan terbuka. Kok kekurangan vitamin D," kata Dahlan.
Dahlan bercerita, vitamin D-nya hanya 23,4. Padahal setidaknya, harus di atas 40. Artinya vitamin D-nya rendah sekali. Itulah sebabnya dia diberi vitamin D (tablet) 5.000. "Mengapa tidak sekalian 10.000?," kata Dahlan bertanya.
Lalu dokter Hanny menjelaskan alasannya. "Kalau ketinggian nanti kasihan ginjal. Untuk memberi obat, dokter harus mempertimbangkan banyak hal," ujarnya.
Di samping itu di Indonesia tidak dijual vitamin D di atas 5.000. "Di Singapura ada. Bahkan ada yang sampai 20.000," katanya.
Di Indonesia kalau memberi vitamin D 10.000 harus lewat suntikan. Kalau di Singapura suntikan bisa sampai 20.000. Bahkan 100.000.
Dokter Hanny lantas seperti menyindir Dahlan Iskan. "Banyak yang berolahraga di bawah matahari tapi pakai topi dan kaus lengan panjang," katanya. "Ha...ha...ha... Itu saya!" ucap Dahlan.
BISNIS
Baca: Dahlan Iskan Sebut Tugas Utama Menkes Budi Gunadi: Nego dengan Pabrik Vaksin