Merger Grab dan Gojek, Pakar Ekonomi Digital Cemaskan Monopoli Teknologi
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Minggu, 6 Desember 2020 16:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar ekonomi digital Ibrahim Kholilul Rohman memprediksi berbagai potensi dampak bila Grab dan Gojek sepakat merger. Salah satunya yaitu aksi korporasi ini berpotensi melahirkan monopoli teknologi.
"Dari sisi digital policy, ini the worst scenario," kata Ibrahim yang juga Kepala Riset Ekonomi PT Samudera Indonesia Tbk ini saat dihubungi di Jakarta, Minggu, 6 Desember 2020.
Beberapa waktu terakhir, isu merger antara dua perusahaan super app dan e-commerce, Grab dan Gojek, memang berembus kencang. Walau demikian, kedua perusahaan sampai saat ini masih satu sikap soal kabar merger ini.
"Kami tidak berkomentar mengenai spekulasi yang beredar di pasar," ujar Juru Bicara Grab yang enggan menyebutkan namanya kepada Bisnis.com, Kamis 3 Desember 2020.
Dihubungi secara terpisah, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita juga menolak berkomentar mengenai perihal merger tersebut. "Kami tidak dapat menanggapi rumor yang beredar di pasar," kata Nila.
Pada dasarnya, kata Ibrahim, Grab maupun Gojek, memiliki inti bisnis yang sama, yaitu data. Sementara bisnis seperti jasa transportasi hanyalah puncak dari bisnis yang kelihatan di masyarakat.
<!--more-->
Tak hanya di Grab maupun Gojek, bisnis data ini pun memang menjadi karakteristik dari bisnis digital lainnya. Tapi, situasi akan semakin buruk, ketika terjadi merger dan para konsumen menjadi semakin ketergantungan dengan perusahaan atau aplikasi tersebut.
Memang, Grab dan Gojek, membantu pengembangan UMKM. Tapi, kata Ibrahim, tidak ada bisnis yang gratis. Data-data pelanggan yang sudah dimiliki kedua perusahaan pun bisa dimonetisasi untuk keperluan bisnis.
Ketika kedua perusahaan merger, maka ada potensi terjadinya monopoli teknologi, dari informasi pergerakan manusia sampai finansial. "Betapa dahsyatnya," kata Ibrahim yang pernah menjadi analis Institute for Prospective Technological Studies (IPTS) ini, sebuah lembaga di bawah Komisi Eropa yang berbasis di Seville, Spanyol.
Meski demikian, Ibrahim menyebut masalah sebenarnya juga ada pada pelanggan sendiri. Sampai saat ini, Ia menilai masyarakat Indonesia masih belum tidak terlalu peduli dengan perlindungan data pribadi mereka masing-masing.
Berbagai data pribadi kerap disetor begitu saja dalam setiap transaksi digital yang dilakukan. "Asal harga murah," kata Ibrahim.
Kondisi yang berbeda justru terjadi di beberapa negara maju di Eropa, seperti di Skandinavia. Menurut dia, perkembangan bisnis e-commerce di kawasan ini paling lambat. "Tapi justru data protectionnya paling kuat," kata Ibrahim.
Untuk itu, Ibrahim menyebut kondisi ini bisa menjadi sejumlah pertimbangan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) nantinya, jika memang Grab dan Gojek melaporkan merger. "Ini jadi call buat KPPU," kata Ibrahim.
Baca: Kabar Merger dengan Gojek, Grab Dinilai Memiliki Posisi Tawar Lebih Tinggi
FAJAR PEBRIANTO