Faisal Basri Sebut Kebijakan BI Turunkan Suku Bunga Gak Nendang, Sebabnya?

Kamis, 26 November 2020 15:00 WIB

Faisal Basri. TEMPO/Jati Mahatmaji

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance Faisal Basri menilai pemerintah dan Bank Indonesia sudah maksimal dalam merespons tekanan ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Namun, dampak dari kebijakan tersebut masih kurang terasa lantaran penyebaran Covid-19 yang masih belum mereda di Tanah Air.

"BI turunkan suku bunga ke 3,75 persen bulan ini, tidak nendang. Karena apa? Karena Covid-19," ujar dia dalam webinar, Kamis, 26 November 2020. Lantaran pagebluk masih berlangsung, perbankan pun sulit untuk menyalurkan kreditnya.

Faisal melihat perbankan sebenarnya hendak menyalurkan kredit, namun para pengusaha masih belum mau mencairkan kreditnya. Akibatnya penyaluran kredit perbankan terkontraksi o,5 persen pada Oktober 2020.

Kebijakan pemerintah yang memberikan bantuan tunai kepada masyarakat juga dampaknya dinilai tidak efektif lantaran masih di bawah bayang-bayang virus Corona. "Masyarakat lebih memilih menurunkan konsumsi dan menaruh uang di bank," ujar Faisal. Akibatnya, Dana Pihak Ketiga di perbankan pun terus melambung hingga ke level dua digit.

Hal ini, menurut Faisal, menunjukkan bahwa kepercayaan kepada pemerintah untuk menangani virus Corona relatif rendah. Terutama lantaran pemerintah terus melakukan kebijakan yang trial and error, serta masih berfokus kepada ekonomi. "Misalnya kebijakan libur bersama untuk memacu pariwisata, tapi membuat pariwisata semakin terpuruk karena pemulihan semakin lama."

Advertising
Advertising

<!--more-->

Faisal mengatakan para ekonom akan sulit memprediksi perekonomian lantaran kondisi penularan Covid-19 yang masih memburuk. Di sisi lain, kunci penanganan Covid-19, yaitu pengujian, juga diniai masih belum maksimal dilakukan dan menyebabkan tingkat kematian di Indonesia relatif tinggi.

Tingkat kematian di Indonesia, menurut dia, berada di kisaran 3,18 persen atau lebih tinggi dari rerata dunia yang 2,35 persen.

Ia melihat jumlah pengujian di Indonesia masih belum meningkat signifikan, yaitu 2.000 uji per satu juta penduduk. Jumlah itu, menurut dia, hanya lebih baik dari 12 negara Afrika, serta Myanmar, Afghanistan, dan Banglades. Negara-negara itu adalah negara dengan pendapatan per kapita lebih rendah dari Indonesia.

"Indonesia sudah masuk negara berpendapatan menengah ke atas tapi kalah pengujiannya dari negara yang pendapatannya lebih rendah seperti Nepal dan Filipina," ujar Faisal.

Ia juga mengkritik langkah pemerintah yang langsung melompat dengan memilih vaksinasi. Padahal, sampai saat ini efektivitas dari vaksin yang sudah dipesan pemerintah pun masih belum teruji kemanjurannya.

Baca: Bank Dunia Sebut 3 Syarat Utama Omnibus Law Berhasil Datangkan Investasi

CAESAR AKBAR

Berita terkait

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

8 jam lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

1 hari lalu

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

BI mencatat aliran modal asing yang keluar pada pekan keempat April 2024 sebesar Rp 2,47 triliun.

Baca Selengkapnya

Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi

2 hari lalu

Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tensi geopolitik di Timur Tengah cenderung meningkat dan menjadi fokus perhatian para pemimpin dunia. Ia menegaskan kondisi ini mempengaruhi beberapa dampak ekonomi secara signifikan.

Baca Selengkapnya

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

2 hari lalu

Ekonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.

Baca Selengkapnya

Setelah Kemarin Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini Diprediksi Menguat

2 hari lalu

Setelah Kemarin Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini Diprediksi Menguat

Analis Ibrahim Assuaibi, memperkirakan rupiah hari ini fluktuatif dan akan ditutup menguat pada rentang Rp 16.150 sampai Rp 16.220 per dolar AS.

Baca Selengkapnya

Zulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi

3 hari lalu

Zulhas Tak Khawatir Rupiah Melemah, BI Mampu Hadapi

Zulhas percaya BI sebagai otoritas yang memiliki kewenangan akan mengatur kebijakan nilai tukar rupiah dengan baik di tengah gejolak geopolitik.

Baca Selengkapnya

Sehari Usai BI Rate Naik, Dolar AS Menguat dan Rupiah Lesu ke Level Rp 16.187

3 hari lalu

Sehari Usai BI Rate Naik, Dolar AS Menguat dan Rupiah Lesu ke Level Rp 16.187

Nilai tukar rupiah ditutup melemah 32 poin ke level Rp 16.187 per dolar AS dalam perdagangan hari ini.

Baca Selengkapnya

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

3 hari lalu

Pengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan

BI menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen berdasarkan hasil rapat dewan Gubernur BI yang diumumkan pada Rabu, 24 April 2024.

Baca Selengkapnya

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

3 hari lalu

IHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia

IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore, ditutup turun mengikuti pelemahan mayoritas bursa saham kawasan Asia.

Baca Selengkapnya

Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

3 hari lalu

Uang Beredar di Indonesia Mencapai Rp 8.888,4 Triliun per Maret 2024

BI mengungkapkan uang beredar dalam arti luas pada Maret 2024 tumbuh 7,2 persen yoy hingga mencapai Rp 8.888,4 triliun.

Baca Selengkapnya