Di Depan KPK, Sri Mulyani Bicara 4 Dilema Kebijakan Covid-19
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 18 November 2020 12:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut empat dilema yang muncul dalam mengambil kebijakan di tengah pandemi Covid-19. Keempat dilema ini, menurut dia, harus selalu terus diatasi.
"Tidak ada situsi yang ideal," kata Sri Mulyani dalam acara Anti Corruption Summit 4 secara virtual pada Rabu, 18 November 2020. Acara ini ikut dihadiri oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri.
Dilema pertama yaitu antara data historis atau data proyeksi. Menurut Sri Mulyani, Ketika diketahui dampak Covid-19 mungkin terus berlanjut, maka kebijakan juga dibuat berdasar data proyeksi.
Tapi, ini bisa menjadi masalah ketika hanya dilihat dari sisi hukum saja. "Karena banyak perkara hukum ditanyakan, datanya tidak menyatakan begitu, itu hanya forecast," kata dia.
Dilema kedua yaitu antara kecepatan dan akurasi. Di tengah Covid-19, pemerintah harus cepat menyalurkan bantuan kepada masyarakat. "Karena Covid itu tidak pakai kata pengantar, dia langsung naik dan memukul," kata dia.
Tapi di sisi lain, Sri Mulyani mengakui data penerima pun tidak sepenuhnya akurat. Di lapangan, sejumlah kasus memang terjadi kesalahan penyaluran bantuan. Tapi akhirnya, Sri Mulyani menyebut pemerintah memilih tetap menyalurkan bantuan, sembari memperbaiki data yang ada.
<!--more-->
Dilema ketiga antara fleksibilitas dan compliance. Di tengah masa krisis ini, Sri Mulyani menyebut perlu ada fleksibilitas dalam pembuat keputusan. "Kami komunikasi dengan DPR bagaimana mendesain APBN fleksibel, tapi tetap akuntabel," kata Sri Mulyani.
Inilah kenapa UU Covid-19 lahir, yang memungkin penyederhanaan pengalokasian APBN di tengah pandemi. Walau kemudian, cara ini diprotes masyarakat dan sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dilema keempat antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam pembiayaan defisit. Dalam paparannya, Sri Mulyani menyebut Indonesia tidak memiliki kemewahan seperti yang dimiliki Amerika Serikat atau Uni Eropa dalam mencetak uang tanpa ada biaya.
Di Indonesia, kata dia, setiap penambahan Rp 1 rupiah, menciptakan beban bunga 8 persen. "Siapa yang akan menjadi penanggungnya?" tulis Sri Milyani.
Tapi, Sri Mulyani tidak menjelaskan bagian ini. Akan tetapi, sejumlah pihak memang sempat mengusulkan pemerintah mencetak uang untuk membiayai defisit. Pilihan itu ditolak oleh pemerintah dan BI.
Sebagai gantinya, pemerintah merombak aturan yang memungkinkan BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer. Semula, BI hanya bisa memberi surat utang di pasar sekunder.
Baca: Sri Mulyani Beberkan Klaster yang Serap Anggaran Pemulihan Ekonomi Paling Rendah