Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro dan acara Penguman Pendanaan Penelitian PTN-BH dan Penandatanganan Kontrak Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tahun 2020 di Hotel Atlet Century, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2020. TEMPO/Khory
TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro meminta obat modern asli Indonesia (omai) dimasukkan dalam daftar rujukan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bambang mengatakan langkah ini bisa menekan ketergantungan negara terhadap impor bahan baku obat.
“Harus ada pemihakan dari Kementerian Kesehatan untuk memprioritaskan obat yang basisnya dari negara kita sendiri. Kalau masuk JKN, omai akan bisa berkembang cepat,” kata Bambang dalam acara Dialog Nasional Tempo bertajuk “Pengembangan untuk Kemandirian Obat Nasional” pada Jumat, 6 November 2020.
Menurut Bambang, langkah ini bisa dimulai dengan merevisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2018 tentang Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Ia menyebut persoalan pemanfaatan omai sudah dibahas dengan kementerian terkait dalam webinar belum lama ini.
Bahkan, menurut Bambang, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga mendorong agar Kemenkes segera mengeluarkan kebijakan terkait kemandirian obat. “Pak Luhut gemas melihat tingginya impor bahan baku obat,” ucapnya.
Berdasarkan data Kementerian Riset dan Teknologi, impor bahan baku obat Indonesia mencapai 95 persen. Impor bahan baku ini meliputi produk-produk kimia yang umumnya belum mampu disediakan oleh industri dalam negeri.
Sedangkan omai adalah obat berbahan dasar herbal asli Tanah Air yang bahan bakunya berasal dari biodiversiti darat dan laut. Omai memiliki dua produk, yakni obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka. <!--more--> Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences Raymond R. Tjandrawinata membenarkan banyak fasilitas kesehatan di dalam negeri yang belum menggunakan produk omai. Padahal, dari sisi industri, perusahaannya sudah mengembangkan obat berbahan baku herbal sejak 2005.
“Kendalanya adalah dokter belum mengenal,” katanya. Ia pun mendukung keinginan Bambang untuk memasukkan omai ke daftar obat JKN. “Dengan begitu, kami yakin importasi bisa dikurangi. Efeknya domino dari petani sampai dokter,” ucapnya.
Direktur Pelayanan Kefarmasian Ditjen Farmalkes Kementerian Kesehatan Dita Novianti Sugandi mengatakan Kementerian tengah mempertimbangkan kemungkinan evaluasi terhadap beleid yang berlaku. “Kami sedang mempertimbangkan apakah harus mengubah aturan atau membuat bentuk lain yang bisa mengakomodasi kebutuhan,” ucapnya.