BKPM: Demo Belum Mengganggu Iklim Investasi, Insya Allah Landai Saja
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 8 Oktober 2020 18:33 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan ramainya aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Cipta Kerja alias Omnibus Law sejauh ini masih belum menyurutkan minat pemodal untuk masuk ke Indonesia.
"Apakah ganggu iklim investasi atau berpotensi membatalkan minat investor? Saya ingin katakan sampai dengan hari ini belum ada niat investor membatalkan gara gara demo atau menganggu ikim investasi belum ada. Insya Allah ini landai-landai saja. Kita berdoa untuk mendapatkan yang terbaik agar demonya selesai," ujar Bahlil dalam konferensi video, Kamis, 8 oktober 2020.
Ihwal demonstrasi yang terjadi beberapa hari ini, kaya Bahlil, ia justru mengingat masa-masa tahun 1998-1999. Kala itu, ia mengaku sempat ditahan polisi ketika berdemo. "Saya melihat ini seperti memotret diri saya."
Ia mengatakan demonstrasi adalah instrumen untuk menyampaikan aspirasi yang dijamin oleh Undang-undang. Bahlil pun mempersilakan masyarakat untuk berdemo. Mengingat, Indonesia adalah negara demokrasi.
"Saya pikir silakan saja yang penting demo harus baik menjaga ketertiban kemudian bisa jangan sampai, mohon maaf, jangan sampai anarkis. Mohon maaf, kita kan negara dalam kondisi susah semua karena covid," kata dia.
<!--more-->
Sebelumnya, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance Ahmad Heri Firdaus menilai ramainya penolakan dari kelompok masyarakat terhadap Omnibus Law atau UU Cipta Kerja, hingga terjadinya mogok kerja buruh, bakal membuat investor berpikir ulang untuk berinvestasi di Indonesia.
"Mereka melihat demo buruh mogok kerja, akan berpikir kalau investor masuk ke Indonesia dan mogok kerja malah jadi rugi. Sehingga kondisi ini bukannya menjadi insentif, malah disinsentif," ujar Ahmad kepada Tempo, Rabu, 7 Oktober 2020.
Heri menyebut sebuah peraturan semestinya dijalankan berdasarkan aspirasi bersama. Namun, banyaknya penolakan terhadap beleid ini justru menandakan ada hal yang belum kokoh dari substansi aturan ini, salah satunya belum mengakomodasi kepentingan buruh.
"Kalau sudah seperti ini yang sudah dirugikan kan pengusaha, industri, pemerintah, dan buruh juga lantaran bisa kehilangan income karena demo," kata Heri.
Hal senada juga disampaikan oleh ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal. Fithra melihat motivasi pemerintah cukup positif dalam membentuk aturan ini dan Indonesia memang membutuhkan undang-undang tersebut sebagai pondasi penunjang produksi Industri ke depannya. Namun, ia melihat lahirnya beleid ini tidak melibatkan partisipasi publik secara menyeluruh. Akibatnya, penolakan pun terjadi dari berbagai kalangan.
<!--more-->
Selain dari kalangan buruh, beleid ini juga ditolak oleh para pegiat lingkungan, akademikus, bahkan para investor global.
Belum lama ini, berdasarkan keterangan resmi yang diterima Tempo, 36 perusahaan investasi global dengan total dana kelolaan mencapai US$ 4,1 triliun di Indonesia pun menyatakan prihatin dengan adanya Omnibus Law. Salah satu alasannya, dengan adanya undang-undang baru ini, bisa merusak lingkungan seperti hutan tropis di Indonesia.
"Kalau melihat penolakan yang semakin besar seperti aktivis lingkungan, ahli hukum, akademikus, artinya partisipasi publik minim, sehingga investor akan melihat juga kestabilan politik," ujar Fithra.
Kalau demikian, alih-alih membuat para pemodal masuk ke Indonesia, bisa-bisa mereka malah beralih ke negara lain. "Kalau ada penolakan besar justru menghambat investasi itu sendiri."
Baca juga: Kepala BKPM: UU Cipta Kerja Mencegah Korupsi, Ini Paling Paten
CAESAR AKBAR