Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati bersiap mengisi BBM ke kendaraan pelanggan di SPBU Coco Kuningan, Jakarta, Senin, 3 September 2018. Dalam kegiatan tersebut, Nicke juga memberi sosialisasi kepada pelanggan terkait dengan penerapan penggunaan solar dengan campuran biodiesel 20 persen atau B20 untuk public service obligation atau PSO dan non-PSO. TEMPO/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menyebut kilang-kilang tua yang dimiliki Pertamina saat ini menjadi salah satu penyebab mahalnya ongkos produksi bahan bakar minyak (BBM). Kilang tua yang beroperasi saat ini, membutuhkan pasokan minyak mentah yang memiliki kadar sulfur rendah atau sweet crude.
Di seluruh dunia, katanya, jenis minyak mentah tersebut hanya tersedia sekitar 3 persen dari total yang ada. "Ini menyebabkan harga yang lebih tinggi karena supply demand yang kurang seimbang," katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Senin, 5 Oktober 2020.
Untuk itu, pembangunan kilang baru dan juga pengembangan kilang yang ada diperlukan guna meningkatkan teknologi agar bisa memberi fleksibilitas penggunaan minyak mentah.
"Diharapkan dari pembangunan ini harga crude [minyak mentah] dapat ditekan yang ujungnya berpengaruh terhadap harga pokok penjualan yang nanti diharapkan harga BBM bisa dapat kompetitif," kata Nicke.
Direktur Utama Kilang Pertamina International Ignatius Tallulembang menjelaskan bahwa saat ini Pertamina mengolah 1 juta barel minyak per hari (bph) dengan kilang-kilang yang ada.
Nantinya dengan empat proyek refinery development masterplan (RDMP) dan satu grass root refinery (GRR) akan meningkatkan kapasitas pengolah menjadi 1,8 juta bph dan juga meningkatkan kualitas kilang sehingga dapat mengolah jenis sulfur yang lain.