Tolak RUU Cipta Kerja, Partai Demokrat Soroti Easy Hiring but Easy Firing
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Minggu, 4 Oktober 2020 16:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Demokrat Hinca Pandjaitan menyebutkan sedikitnya ada tiga catatan kritis terkait Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). Oleh karena itu, Fraksi Demokrat menilai tidak perlu terburu-buru dalam pembahasan RUU Cipta Kerja.
"Kami menyarankan dilakukan pembahasan lebih utuh dan melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan," kata Hinca dalam Rapat Kerja Baleg bersama pemerintah dan DPD RI, di Kompleks Parlemen, Sabtu malam, 3 Oktober 2020.
Hinca menyebutkan catatan kritis pertama yang dimaksud adalah ketidakadilan di ketenagakerjaan, seperti aturan prinsip no work no pay oleh pengusaha karena upah dibayar berdasarkan satuan waktu kerja per jam. Hinca juga mengkritisi aturan mengenai hak pekerja atas istirahat selama dua hari dalam sepekan yang dihilangkan karena 40 jam dalam satu pekan dikembalikan dalam perjanjian kerja.
"RUU ini juga mengandung sistem easy hiring but easy firing," kata Hinca. Ia mencontohkan, ketentuan mengenai pekerja kontrak dan outsourcing yang dilonggarkan secara drastis juga menyebabkan pekerja kesulitan mendapatkan kepastian hak untuk menjadi pekerja tetap.
Adapun catatan kritis kedua terkait sektor lingkungan hidup dan pertanahan. RUU Cipta Kerja, kata Hinca, berpotensi memunculkan dampak mengkhawatirkan bagi sektor pertanahan karena melegalkan perampasan lahan sebanyak dan semudah mungkin untuk Proyek Prioritas Pemerintah dan Proyek Strategis Nasional yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada swasta.
Sementara dalam masalah lingkungan hidup, RUU Cipta Kerja memberi kemudahan syarat pembukaan lahan untuk perusahaan di berbagai sektor dan pengadaan lahan di bawah lima hektare. "Padahal untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya dan lainnya, luas lima hektare dapat ditinggali oleh ratusan kepala keluarga. Akibat pengaturan ini, penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan pemerintah daerah," kata Hinca.
<!--more-->
Catatan ketiga, menurut Hinca, terkait sentralisasi peraturan dari daerah ke pusat. Partai Demokrat menyoroti pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada pemerintah pusat akan menjadikannya superior dibandingkan legislatif, yudikatif, dan pemerintah daerah.
Padahal, tujuan RUU Cipta Kareja mengefektifkan birokrasi namun aturan terbaru tersebut justru akan merumitkan proses birokrasi karena tidak adanya kepastian dan kejelasan hukum dalam hal perizinan berusaha. "Kami juga menilai proses pembahasan poin-poin krusial dalam RUU Ciptaker kurang transparan dan akuntabel. Hal itu karena tidak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja, dan jaringan masyarakat sipil," ujarnya.
Sementara itu Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan RUU Cipta Kerja merupakan beleid pertama yang setiap pembahasannya dilakukan secara terbuka dan transparan. Pasalnya tiap pembahasan disiarkan melalui TV Parlemen dan media sosial DPR sebagai komitmen terhadap reformasi parlemen.
Soal kewenangan pemerintah pusat terhadap pemda yang dikritik Fraksi Demokrat, kata Andi, pada pembahasan akhir dikembalikan sesuai UUD 1945. "Terkait kewenangan pemerintah pusat dan daerah, dalam prosesnya dengan kebesaran hati pemerintah, hubungan pusat-daerah dikembalikan sesuai Pasal 18 UUD 1945," katanya.
Seperti diketahui Badan Legislatif DPR menggelar rapat Kerja bersama pemerintah dan DPD RI pada Sabtu malam dengan agenda pengambilan keputusan Tingkat I terkait RUU Cipta Kerja. Dalam raker tersebut, tujuh fraksi menyatakan setuju RUU Cipta Kerja dibawa dalam pengambilan keputusan Tingkat II dalam Rapat Paripurna untuk disetujui menjadi UU, dan dua fraksi menolak yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS.
ANTARA
Baca: Pengusaha Ingatkan Buruh Kena Sanksi Mangkir karena Demo Tolak RUU Cipta Kerja