Pemerintah Terus Optimalkan Tagih Piutang BLBI
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 3 Oktober 2020 07:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah berupaya mengoptimalkan penagihan piutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI yang hingga tahun lalu tercatat senilai Rp 91,7 triliun. Saat ini penanganan piutang BLBI ditangani oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
"Sudah diurus PUPN sesuai dengan peraturan perundangan, sampai sekarang kita mengupayakan penagihan sampai sesuai dengan kewenangan PUPN," kata Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain Kementerian Keuangan Lukman Efendi, Jumat, 2 Oktober 2020.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019 yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan, disebutkan Kementerian Keuangan belum optimal mengelola aset yang berasal dari pengelolaan BLBI.
Setidaknya ada empat hasil temuan krusial BPK terkait pengelolaan aset yang terkait BLBI tersebut. Pertama, pengelolaan aset properti eks BPPN dan eks kelolaan PT PPA (Persero) belum memadai.
DJKN dinilai tidak optimal mengamankan Aset properti eks BPPN dan eks PT PPA serta penetapan status penggunaan (PSP) aset eks PT PPA tidak memperhatikan status kepemilikan aset. Selain itu, BPK juga menyebut aset properti tidak disajikan berdasarkan basis pengakuan yang sama.
Kedua, pengelolaan piutang BLBI dinilai belum memadai. Tak tanggung-tanggung nilai piutangnya mencapai Rp 17,17 triliun. Di dalam laporan BPK ini disebutkan proses penagihan piutang BLBI mulai dari adanya agunan aset bank dalam likuiditas atau BDL yang tidak dikuasai pemerintah hingga tingkat penyelesaian piutang yang diserahkan kepada negara sangat rendah.
LHP BPK menjelaskan piutang BLBI sebesar Rp 91,7 triliun yang terdiri dari aset kredit eks BPPN sebesar Rp 72,6 triliun, aset kredit eks kelolaan PT PPA sebesar Rp 8,9 triliun dan piutang eks BDL sebesar Rp 10,07 triliun.
Sementara itu, jika dilihat dari tabel yang disajikan dalam LKPP, tingkat penyelesaian piutang jika dirata-rata masih kurang dari 10 persen. Sebagai contoh nilai aset kredit eks BPPN dalam bentuk dolar Amerika Serikat.
<!--more-->
Dalam laporan itu, total aset kredit eks BPPN dalam bentuk dolar senilai US$ 617,4 juta atau sekitar Rp 9,26 triliun. Namun yang dilunasi hanya senilai US$1,7 juta atau di kisaran 0,28 persen dari total utang. Di sisi lain, terkait pengelolaan piutang BLBI, BPK juga masih menemukan pengelolaan jaminan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) belum maksimal dengan nilai mencapai Rp 17,03 triliun.
Lebih jauh Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Racmatarwata menyebutkan peningkatan jumlah piutang negara tidak disertai dengan kecepatan pemerintah dalam menagih piutang.
Walhasil, total piutang tak tertagih setiap tahun terus membengkak. Dari data yang dimilikinya diketahui total piutang bruto negara hingga 2019 sebanyak Rp 297,9 triliun.
Adapun penyisihan piutang tak tertagih sebanyak Rp 187,2 triliun, atau setara dengan 62,8 persen dari jumlah piutang bruto. Sementara total piutang bruto senilai Rp 297,9 triliun itu terdiri dari piutang pajak senilai Rp 94,6 triliun dan piutang bukan pajak senilai Rp 166,2 triliun.
Isa menjelaskan, piutang tak tertagih merupakan piutang yang tidak bisa dibayar debitur sampai dengan waktu yang ditentukan. Karena tak tertagih, piutang itu akan masuk ke kualitas penyisihan.
"Dalam penyisihan ada kriteria, kalau dia kurang lancar, disisihkan. Kalau macet dan sudah diserahkan ke PUPN, itu sudah 100 persen," kata Isa, Jumat, 2 Oktober 2020.
Adapun penyebab piutang tak tertagih, menurut Isa, dapat bermacam-macam bentuk. Karena terbentuknya piutang itu sangat bervariasi, tidak seragam. "Tapi penyisihan itu jangan diartikan tidak perlu dibayarkan, itu teknis akuntansi," ucapnya.
BISNIS
Baca: Sri Mulyani: Sudah 20 Tahun Lebih Utang BLBI Belum Lunas