Sri Mulyani Ingin Biaya Logistik RI Ditekan jadi 17 Persen PDB, Ini Sebabnya
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 24 September 2020 17:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan biaya logistik nasional bisa ditekan menjadi 17 persen dari Produk Domestik Bruto atau PDB melalui penerapan Ekosistem Logistik Nasional. Saat ini biaya logistik di Tanah Air masih berada di kisaran 23,5 persen dari PDB.
“Dengan membentuk NLE (National Logistic Ecosystem, diharapkan bisa menurunkan biaya logistik kita yang 23,5 persen dari PDB menjadi 17 persen,” ujar dia dalam koferensi video, Kamis, 24 September 2020.
Sri Mulyani mengatakan pemangkasan biaya 5-6 persen dari PDB itu akan disumbang dari penyederhanaan semua proses logistik dari hulu sampai ke hilir dengan menyederhanakan proses, menghilangkan repetisi, serta mempermudah pelaku usaha dalam sistem logistik.
Beberapa bentuk penyederhanaan misalnya dengan menerapkan sistem penebusan delivery order dan persetujuan pengeluaran petikemas secara online dan dilakukan nonstop. Sebelumnya, proses tersebut dilakukan manual dengan jam pelayanan terbatas. Langkah ini diperkirakan memberikan efisiensi biaya Rp 402 miliar per tahun dan efisiensi waktur 91 persen.
Selanjutnya, sistem e-trucking atau sistem pemesanan truk melalui sistem pemesanan berbasis web yang akan menggantikan sistem pemesanan manual, selain akan memberikan dampak transparansi, juga akan menekan biaya hingga Rp 975 miliar per tahun, serta terjadi waktu 50 persen.
Langkah lainnya adalah penyampaian dokumen clearance dan pemeriksaan barang bea cukai-karantina juga akan didukung dengan sistem single submission dan joint inspection, sehingga bisa terjadi efisiensi biaya RP 85 triliun dan waktu 35-56 persen. Serta sistem pemberitahuan tunggal pada sistem pengangkutan juga diperkirakan bakal menimbulkan efisiensi Rp 60 miliar dan efisiensi waktu 74 persen.
<!--more-->
Sebetulnya, kata Sri Mulyani, sebelumnya pemerintah telah merintis National Single Window yang menghubungkan beberapa kementerian dan lembaga. Namun, langkah itu belum mempermudah transaksi dengan pelaku usaha.
National Single Window, kata dia, selama ini lebih bersifat koordinasi antar lembaga dan kementerian di pemerintah, namun pelaku usaha seperti eksportir, importir, dan pelaku usaha logistik belum terkoneksi dengan baik. “Jadi yang terjadi adalah importir eksportir dan pelaku logistik harus berkali-kali melakukan submission dan proses untuk berhubungan dengan pemerintah maupun di antara mereka. Jadi ada proses repetitif dan rumit.”
Sri Mulyani mengatakan nantinya pelaku usaha seperti pengusaha truk, kontainer, depo, perkapalan hingga pembayaran bisa dimasukkan ke dalam ekosistem logistik nasional. Sehingga semua pihak di dalam ekosistem tidak perlu lagi memasukkan dokumen berulang-ulang untuk melakukan proses logistik.
Pemerintah berharap langkah penataan logistik ini berimbas ke biaya logistik nasional. Pasalnya, saat ini biaya logistik di Tanah Air masih jauh lebih tinggi ketimbang negara tetangga di ASEAN, misalnya Malaysia dan Singapura. Biaya logistik di Indonesia saat ini masih sekitar 23,5 persen dari Produk Domestik Bruto, lebih tinggi dari Malaysia yang sekitar 13 persen dari PDB.
“Performa logistik kita dalam EODB mengenai berapa jumlah hari, jam, waktu untuk selesaikan logistik itu belum menunjukkan perbaikan signifikan,” tuturnya. Karena itu, Sri Mulyani mengatakan upaya mereformasi bidang logistik nasional menjadi keharusan. “Terutama dalam menghubungkan sektor transportasi dan untuk mensimplifikasi proses, menghilangkan repetisi dan bisa memberikan kemudahan bagi pelaku usaha.”
Baca: Luhut Usul ke Sri Mulyani Beri Tunjangan Prestasi Bagi Aparat di Perbatasan