Pengetatan Kredit Perbankan, Chatib Basri: Takut Minjemin, Takut Macet
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 3 September 2020 19:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri menilai perbankan mengalami masalah credit crunch atau pengetatan kredit di masa pandemi. Credit crunch merupakan keengganan bank untuk menyalurkan pinjaman.
“Menurut saya, persoalan di sektor keuangan, lembaga pinjaman, adalah isu yang disebut credit crunch, yaitu punya uang tapi takut minjemin, takut macet,” katanya dalam diskusi virtual Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kamis, 3 September 2020.
Credit crunch diduga membuat penempatan dana pemerintah di bank menjadi kurang efektir. Padahal, menurut Chatib, pemerintah sudah bertindak on track alias sesuai jalur.
Pada Juni lalu, misalnya, pemerintah membenamkan Rp 30 triliun di Himpunan Bank Milik Negara atau Himbara. Uang ini akan digunakan untuk mempercepat bantuan kredit bagi sektor usaha.
Menurut Chatib, fenomena credit crunch pernah terjadi pada krisis-krisis sebelumnya, seperti krisis global 2008. Kala itu, kredit untuk para eksportir juga sulit disalurkan.
<!--more-->
Chatib pun menilai semestinya perbankan berani, meski terdapat beberapa risiko. “Kalau kasih pinjaman lalu macet, 20 persen akan ditanggung bank dan 80 persen debitur,” katanya. Lebih lanjut, Chatib belum mengetahui secara pasti apakah credit crunch ini juga terjadi di perusahaan pinjaman digital, yakni fintek.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan atau OJK Wimboh Santoso mengatakan penyaluran kredit dari penempatan dana pemerintah di Himbara mencapai Rp 79,7 triliun kepada 950 debitur. "Dan ini kelihatannya masih terus dilakukan untuk menggandakan ini dan kami yakin bisa lebih dari tiga kali untuk penyaluran kreditnya," ujar dia, Rabu, 2 September 2020.
Rencananya, Himbara akan mendistribusikan kredit sebanyak empat kali lipat dari alokasi dana. Dengan penyaluran saat ini, rasio realisasi terhadap alokasi dana telah mencapai 265,7 persen. Sementara, rasio realisasi terhadap rencana distribusi mencapai 65,9 persen.
Pemerintah juga sebelumnya telah menempatkan dana Rp 11,5 triliun untuk Bank Pembangunan Daerah. Hingga 19 Agustus 2020, penyalurannya baru mencapai Rp 1,58 triliun untuk 3.559 debitur.
Wimboh berujar sektor jasa keuangan saat ini memiliki kapasitas untuk menyalurkan kredit, baik dari likuiditas, permodalan, maupun indikator lainnya. Sehingga, ia tidak khawatir para pelaku jasa keuangan akan mengalami kendala dalam menyalurkan kredit.
Baca juga: Chatib Basri Ungkap Tantangan Industri Fintech, Bunga Kredit Bisa Makin Turun
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | CAESAR AKBAR