Alasan Serikat Pekerja Anak Usaha PLN Gugat UU Sumber Daya Air
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Sabtu, 29 Agustus 2020 19:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Persatuan Pegawai Indonesia Power (PPIP) dan Serikat Pekerja Pembangkit Jawa Bali (SP PJB) mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA). PT Indonesia Power dan PT Pembangkit Jawa Bali, adalah dua anak usaha dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN.
Lalu apa alasan dari gugatan uji materi di MK ini?
Alasan utamanya adalah UU ini mengaktifkan kembali klausula Biaya jasa Pengelolaan sumber Daya Air (BJPSDA). Sekretaris Jenderal PPIP Andy Wijaya mengatakan biaya ini akan dimasukkan dalam harga jual listrik.
"Sehingga listrik akan menjadi mahal dan tidak terjangkau masyarakat," kata Andy dia dalam keterangannya kepada Tempo di Jakarta, Kamis, 27 Agustus 2020.
Padahal, klausula BJPSDA ini telah dinyatakan inkonstitusional dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA. Seluruh ketentuan dalam UU tersebut telah dianulir oleh MK pada 15 Februari 2015.
Saat itu, gugatan datang dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dipimpin Din Syamsuddin, terhadap UU Nomor 7 Tahun 2004. Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tersebut seluruhnya. Sehingga, pemerintah harus membuat aturan baru dan lahirlah UU Nomor 17 Tahun 2019.
<!--more-->
Menurut Andy, klausula ini membuat efisiensi produksi dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) akan menjadi sia-sia. Padahal, PLTA adalah salah satu sumber energi baru terbarukan yang paling memungkinkan untuk dikejar pembangunannya, demi mencapai target barusan energi bersih 23 persen pada 2025.
Saat ini, kata Andy, tahapan pengelolaan sumber daya air sudah dilaksanakan secara mandiri oleh PLN, bersama dengan PT Indonesia Power dan PT Pembangkit Jawa Bali. Tapi sampai hari ini, pemanfaatan air sebagai PLTA baru mencapai 6,4 persen saja, dari total potensi 75 Giga Watt (GW).
Menurut Andy, BJPSDA yang dibebankan kepada PLTA hanya akan menambah beban pengeluaran dari pembangkit tersebut. Sehingga, biaya pokok produksi (BPP) menjadi naik dan dapat melampaui BPP sumber energi listrik lainnya. Contohnya seperti PLTU yang rata-rata, berdasarkan laporan statistik PLN tahun 2018, Rp. 831.46 per kwh.
Selain itu, pengenaan BJPSDA kepada PLTA juga dinilai akan menimbulkan potensi penyalahgunaan kewenangan negara oleh badan hukum lain. Lantaran, BJPSDA yang dikenakan tidak 100 persen masuk kepada negara.
Itulah sebabnya gugatan uji materi dilakukan. Mereka menggugat dua pasal, yaitu Pasal 19 ayat 2 dan Pasal 58 ayat 1, serta penjelasan Pasal 59 huruf C. Pasal-pasal tersebut, kata Andy, terutama pengenaan BJPSDA akan membuat kenaikan harga listrik dari PLTA sebagai bagian dari beban produksi.
"Ini akan membebani masyarakat, karena akan dimasukkan dalam
harga jual listrik," kata dia. Saat ini, pengajuan materill gugatan ini pun telah diterima MK dan terdaftar dengan nomor 2017/PAN.MK/VIII/2020.
Baca juga: UU Sumber Daya Air Kembali Digugat ke Mahkamah Konstitusi
FAJAR PEBRIANTO