6 Fakta Positif di Balik Ancaman Krisis Ekonomi
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Kamis, 20 Agustus 2020 07:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia saat ini menghadapi ancaman krisis ekonomi berupa resesi akibat pandemi Covid-19. Ekonomi kuartal II pada tahun 2020 tumbuh minus 5,32 persen. Jika kuartal III kembali negatif, maka Indonesia jatuh ke jurang resesi seperti negara lain yang sudah lebih awal mengalaminya.
Tapi di balik itu, ada sejumlah tren positif yang sudah mulai terjadi di dalam perekonomian di Tanah Air saat ini. Tempo merangkum sejumlah fakta positif tersebut, berikut di antaranya:
1. Tingkat Kesembuhan Covid-19 Sudah 68 Persen
Sejak awal pandemi terjadi, Tempo merekam perkembangan tingkat kesembuhan orang terkonfirmasi positif Covid-19. Semakin ke sini, angka kesembuhan terus meningkat setiap bulannya.
Per hari ini, Satuan Gugus Tugas Covid-19 mencatat sudah ada 144.945 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. Tapi, 98.657 di antara mereka sudah sembuh atau 68 persen. Sehingga kasus aktif tinggal 39.942 orang saja.
Perkembangan tingkat kesembuhan yaitu sebagai berikut:
1. Maret 8,33 persen
2. April 9,79 persen
3. Mei 21,97 persen
4. Juni 37,19 persen
5. Juli 47,88 persen
6. 19 Agustus 68 persen
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu pun mengatakan naiknya tingkat kesembuhan ini, membuat angka kasus aktif menjadi flat. "Semoga tidak naik," kata dia dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 19 Agustus 2020.
2. PMI Manufacture Menuju Ekspansi
Febrio mengatakan saat ini tanda-tanda pemulihan ekonomi sudah mulai terlihat. Salah satunya dengan naiknya Purchasing Managers Index (PMI) Manufacture. "Meskipun masih terbatas" kata dia.
<!--more-->
Sampai Juli, PMI Manufacture Indonesia berada di posisi 46,9, sedikit lagi menujyu level ekspansi di atas 50. Sementara PMI Global, sudah di posisi 50,3 atau pertama kali di level ekspansi sejak pandemi.
3. Arus Modal ke Emerging Market Naik
Menurut Febrio, naiknya PMI Global ke zona positif memberikan dorongan di pasar keuangan global. Salah satunya dengan naiknya arus modal kembali ke pasar Emerging Market (EM).
April 2020, Bloomberg EM Capital Flow Proxy Index berada di posisi 105. Saat ini sudah sekitar 135. Tren ini diikuti dengan meredanya volatilitas pasar keuangan global. VIX index turun dari posisi 80 pada Maret 2020 menjadi 20 pada Agustus 2020.
3. Government Response Stringency Index Turun
Sementara itu, Vice President Economist Bank Permata Josua Pardede mengatakan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di dunia memang masih trus naik. Akan tetapi, Government Responde Stringency Index sudah mulai turun, dibandingkan sejak awal pandemi.
Strigency Index ini mengakomodasi 9 indikator, di antaranya penutupan sekolah, penutupan tempat kerja, sampai larangan perjalanan. Semakin rendah index-nya, maka aturan yang ada di sebuah negara semakin renggang.
"Ini seiring dengan kondisi penanganan Covid-19 yang lebih baik," kata Jousa dalam konferensi pers yang sama.
Tapi, Josua tetap mengingatkan bahwa masih ada potensi gelombang kedua Covid-19. Sebab negara seperti Selandia Baru, yang sudah mengumumkan 0 kasus Covid-19, mulai menaikkan kembali Strigency Index mereka, setelah turun tajam.
<!--more-->
4. Harga Komoditas Global Menguat
Setelah sempat menurun, Josua menyebut harga komoditas global saat ini mulai menunjukkan peningkatan. Baik itu minyak mentah, Crude Palm Oil (CPO), karet, sampai batu bara.
Peningkatan ini terjadi karena sudah ada pembukaan kembali aktivitas ekonomi di sejumlah negara. "Ini salah satu tanda-tanda awal pemulihan, kami harapkan terus berlanjut," kata dia.
5. Volatilitas Rupiah Stabil
Jousa juga mengatakan nilai tukar rupiah memang masih sempat melemah beberapa waktu yang lalu. "Tapi kami mencatat volatilitas rupiah stabil," kata dia.
Saat ini, rupiah berada di posisi sekitar Rp 14.600 sampai Rp 14.700 per dolar Amerika Serikat. Josue menilai stabilnya volatilitas rupiah ini pun menunjukkan pada confidence pelaku pasar sedang cukup baik.
Secara global imbal hasil obligasi negara 10 tahun di tingkat global juga masih cenderung menurun. Situasi ini terjadi seiring dengan suku bunga Bank Sentral di banyak negara yang masih akomodatif.
Tapi, imbal hasil obligasi RI masih lebih tinggi dari negara lain, mencapai 6,8 persen. Negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura, masing-masing hanya 4,06 persen, 2,5 persen, 1,28 persen, dan 0,89 persen.
6. Pembelian Obligasi Jangka Panjang oleh Asing Meningkat
Hingga akhir tahun lalu, sebanyak 34 persen dari kepemilikan obligasi RI oleh investor asing merupakan tenor panjang di atas 10 tahun. Hingga Agustus 2020, angkanya malah meningkat menjadi 37,6 persen.
Memang, kata Josua, secara umum arus modal asing masih net sell secara tahun kalender. Akan tetapi, Ia menyebut pasar obligasi Indonesia dalam beberapa bulan terakhir sudah direspons positif ketimbang awal pandemi. "Investor cenderung lebih confident," kata dia.
Baca juga: Sri Mulyani Kenang 22 Tahun Lalu, Sebut Jokowi Dapat Berkah dari Krisis Ekonomi