Pertumbuhan Ekonomi Minus, Faisal Basri Beberkan Soal Resesi Ekonomi
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 5 Agustus 2020 17:19 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri angkat bicara mengomentari pengumuman Badan Pusat Statistik atau BPS soal pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua tahun 2020 yang mengalami kontraksi. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi kontraksi hingga minus 5,32 persen.
Melalui tulisannya di blog, Faisal Basri menjelaskan konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen terbesar dalam PDB dengan kontribusi 58 persen merosot atau mengalami kontraksi sebesar 5,51 persen. Kejadian saat ini hampir hampir sama parahnya dengan krisis 1998 ketika pertumbuhan konsumsi rumah tangga minus 6,17 persen.
"Di era Orde Lama, konsumsi rumah tangga hanya dua kali mengalami kontraksi, yaitu 1963 sebesar minus 3,95 persen dan 1966 minus 1,46 persen," kata Faisal seperti dikutip dari blognya www.faisalbasri.com, Rabu, 5 Agustus 2020.
Lalu apakah itu artinya perekonomian Indonesia kini jatuh ke jurang resesi?
Terkait hal ini Faisal Basri menyebutkan selama pandemi Covid-19 belum mencapai puncak, potensi kontraksi ekonomi bakal berlanjut pada kuartal III tahun 2020. Meski begitu, ia memperkirakan kontraksi tidak akan sedalam kuartal II tahun 2020.
Jika itu terjadi, menurut dia, berarti perekonomian alami kontraksi dua kuartal berturut-turut. "Indonesia bakal memasuki resesi," ucapnya.
Oleh karena itu, Faisal Basri meminta pemerintah tidak memaksakan diri agar terhindar dari resesi. Caranya dengan mengutamakan agenda pemulihan ekonomi ketimbang pengendalian wabah Covid-19.
Jika dipaksakan, menurut Faisal Basri, resesi berpotensi terjadi lebih panjang sehingga menelan ongkos ekonomi dan sosial yang sangat besar. "Lebih baik pemerintah realistis. Fokus kendalikan Covid-19 agar perekonomian bisa tumbuh positif kembali pada kuartal terakhir tahun ini sehingga 2021 bisa melaju lebih kencang," tuturnya.
<!--more-->
Lebih jauh, Faisal mengatakan suntikan APBN berupa bantuan sosial bagi penduduk miskin, rentan miskin, serta terdampak pandemi Covid-19 sangat membantu untuk menahan kemerosotan atau kontraksi ekonomi lebih dalam.
Faisal Basri menyebutkan, penurunan PDB pada kuartal II tahun 2020 tertolong oleh ekspor neto barang dan jasa (ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang dan jasa). Pasalnya, impor merosot lebih tajam ketimbang penurunan ekspor, yaitu masing-masing 16,96 persen dan 11,66 persen.
Di sisi lain, konsumsi pemerintah yang diharapkan naik malah mengalami penurunan. Itu sebabnya semua komponen pengeluaran telah mengalami kontraksi.
Seperti diketahui, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga (PK-RT) yang mencakup lebih dari separuh PDB Indonesia, tumbuh negatif atau mengalami kontraksi dalam hingga 5,51 persen.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan hampir seluruh komponen konsumsi rumah tangga mengalami kontraksi, kecuali komponen perumahan dan perlengkapan rumah tangga dan kesehatan dan pendidikan.
Komponen PMTB tumbuh negatif hingga -6,9 persen pada kuartal II tahun 2020 (yoy). Adapun, realisasi investasi yang tercatat di BKPM (PMA dan PMDN) selama kuartal II tahun 2020 sebesar Rp 191,9 triliun, atau turun sebesar 8,9 persen (qtq) dan turun 4,3 persen (yoy).
BISNIS