Defisit Anggaran Makin Lebar, Pemerintah Diminta Waspadai Lonjakan Utang
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Sabtu, 1 Agustus 2020 08:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dinilai harus berhati-hati dalam mengantisipasi risiko kebijakan memperlebar defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau RAPBN tahun 2021. Pasalnya hal itu akan berkonsekuensi dengan nilai utang yang akan diambil untuk menutupi kekurangan pembiayaan dan yang pada akhirnya akan membebani di masa mendatang.
Pernyataan itu di antaranya dilontarkan oleh anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam. Ia meminta angka defisit yang dipatok tersebut tetap dijaga dengan sangat hati-hati.
"Angkanya sudah diusulkan oleh Pemerintah dan dibahas bersama DPR. Jangan tiba-tiba sepihak dilakukan perubahan di luar rentang yang sudah disepakati," kata Ecky Awal Mucharam dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat, 31 Juli 2020.
Politikus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengingatkan bahwa pelebaran defisit terkait dengan utang yang akan menjadi beban generasi ke depan. Oleh karena itu, defisit dari anggaran negara harus tetap hati-hati dan mempertimbangkan aspek kebermanfaatan, efisiensi dan efektivitasnya.
Dalam rapat paripurna DPR terakhir, Pemerintah dan DPR telah menyepakati kerangka asumsi makro untuk RAPBN 2021. Defisit anggaran disepakati 3,21-4,17 persen terhadap PDB dan rasio utang di kisaran 37,64-38,5 persen terhadap PDB.
"Ini sudah dibahas cukup mendalam dan mempertimbangkan kebutuhan untuk pemulihan ekonomi yang memadai. Sehingga secara umum seharusnya sudah memadai dan jangan sepihak diubah," kata Ecky. Ia juga mengingatkan utang yang besar akan membebani APBN dalam jangka panjang karena beban bunganya akan sangat berat.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal sebelumnya menyebutkan pelebaran defisit di 2021 akan menimbulkan beberapa risiko. Pelebaran defisit akan diikuti oleh peningkatan utang luar negeri pemerintah.
Hal ini dinilai akan meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia. Meskipun rasio utang terhadap PDB aman, di sisi lain pertumbuhan penerimaan negara melemah bahkan terkontraksi, artinya kemampuan Indonesia untuk mengembalikan utang melemah.
<!--more-->
"Kalau surat utangnya milik asing atau dalam bentuk valuta asing [valas] juga meningkat, akan membuat lebih rentan lagi terhadap capital outflow ataupun pelemahan nilai tukar," kata Faisal, Selasa, 28 Juli 2020.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad memperkirakan rasio utang terhadap PDB pada 2021 akan meningkat lebih tinggi dari prediksi awal 37,97 persen akibat dari pelebaran defisit di 2021. Hal ini akan memberikan tekanan terhadap fiskal pada periode berikutnya karena sumber pembiayaan utang pemerintah banyak berbentuk surat berharga negara (SBN) jangka pendek.
"Konsekuensinya keseimbangan primer negatifnya akan semakin besar. Jika keseimbangan primer negatif-nya makin besar, otomatis pemerintah harus membiayai belanja non-K/L lebih tinggi dari biasa. Pembiayaan belanja K/L harus ditekan, padahal belanja K/L untuk ekspansi fiskal," kata Tauhid.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah memutuskan untuk menaikkan defisit anggaran dalam RAPBN 2021 menjadi 5,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kenaikan defisit ini perlu dilakukan untuk mendukung pembiayaan program prioritas, termasuk penanganan dampak Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
“Presiden memutuskan kita akan memperlebar defisit jadi 5,2 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Jadi lebih tinggi lagi dari desain awal yang sudah disepakati dengan DPR, lebih tinggi dari 4,7 persen,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers secara daring usai rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Jokowi dari Istana Kepresidenan Bogor, Selasa, 28 Juli 2020).
Defisit anggaran 5,2 persen dari PDB di 2021 tersebut, ujar Sri Mulyani, lebih tinggi dari kesepakatan awal dan proyeksi antara pemerintah dan DPR. Dalam kesepakatan dengan parlemen di sidang Badan Anggaran DPR, pemerintah menetapkan defisit RAPBN 2021 sebesar 4,17 persen, namun anggota dewan melihat terdapat indikasi kenaikan defisit menjadi 4,7 persen PDB karena masih tingginya tekanan dari pandemi COVID-19.
“Dengan defisit 5,2 persen PDB pada 2021, maka kita akan memiliki cadangan belanja sebesar Rp 179 triliun yang Bapak Presiden setujui akan menetapkan prioritas-prioritas belanjanya,” ujar Sri Mulyani.
Beberapa program prioritas pada 2021, ujar Sri Mulyani, adalah ketahanan pangan, pembangunan kawasan industri yang dilengkapi infrastruktur yang memadai, transformasi digital di seluruh Tanah Air, pengembangan sektor pendidikan, dan kapasitas layanan kesehatan untuk menangani Covid-19 pasca-2020 termasuk anggaran untuk memperoleh vaksin.
BISNIS