Dirut PT PANN Beberkan 2 Penyebab Utama Bisnis Usahanya Merugi
Reporter
Antara
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Rabu, 15 Juli 2020 11:15 WIB
Proyek kerjasama asing yang kedua adalah 31 unit kapal ikan Mina Jaya Niaga yang hanya terselesaikan 14 unit kapal, sementara 17 kapal lainnya tidak diselesaikan pembangunannya. Dengan demikian proyek 31 unit kapal tersebut mangkrak mengingat 14 unit kapal yang sudah selesai tidak laku karena biaya pembuatannya yang sangat mahal sebesar Rp 81 miliar dibandingkan biaya produksi kapal lokal yang hanya Rp 22 miliar pada saat itu.
Kedua transaksi kerjasama asing ini yang menggerus likuiditas BUMN PT PANN, di mana BUMN ini sudah mengeluarkan untuk eskalasi harga kurang lebih Rp126 miliar termasuk membayar administrasi bank sebesar Rp 23 miliar. Dengan demikian total yang dibayar Rp 150 miliar.
Herry menyebutkan, untuk kedua proyek ini, pemerintah saat itu menjanjikan bahwa modal PT PANN akan ditambah dari Rp45 miliar menjadi Rp 500 miliar permodalannya. "Namun sayangnya hal tersebut tidak pernah terealisasikan," ucapnya.
Padahal sebelum adanya penugasan pemerintah terkait kedua proyek kerjasama dengan negara asing tersebut di tahun 1994, PT PANN selalu dalam kondisi untung dan mampu membayar dividen serta pajak.
Akibat kedua proyek kerjasama asing ini, likuiditas PT PANN tergerus habis dan mulai pada tahun 2004 BUMN tersebut mengalami ekuitas negatif. Bahkan hasil yang dikelola oleh PT PANN tidak sanggup lagi untuk menutupi kerugian dari kedua proyek kerjasama asing itu.
Lebih jauh Herry menjelaskan, PT PANN kemudian meminta kepada Kementerian Keuangan untuk menghentikan bunga pinjaman. Sejak 2006 PT PANN mengajukan restrukturisasi, kemudian pada tahun 2013 restrukturisasi baru disetujui.
Persetujuan restrukturisasi tersebut kemudian berlanjut hingga PT PANN disetujui menerima penambahan PMN non tunai dari konversi pokok utang kedua proyek tahun 1994 tersebut sebesar Rp 3,75 triliun.
ANTARA