Eksportir Batu Bara Incar Pasar Vietnam, Pakistan hingga Srilanka
Reporter
Vindry Florentin
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Jumat, 10 Juli 2020 09:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengusaha batu bara menggali peluang ekspor baru di pasar-pasar non tradisional di kawasan Asia. Penjajakan secara mandiri hingga yang melibatkan pemerintah gencar dilakukan terutama sejak pandemi terjadi.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menyatakan pasar non tradisional menjadi target lantaran sejumlah negara besar seperti Jepang, Korea Selatan, hingga Cina mulai mengurangi penggunaan batubara secara perlahan.
"Sementara di negara berkembang pasti sedang berupaya meningkatkan elektifikasinya dengan energi murah. Batubara adalah sumber energi termurah," katanya kepada Tempo, Kamis 9 Juli 2020.
Negara tujuan ekspor yang masuk dalam radar para pengusaha itu antara lain Vietnam. Hendra menuturkan selama ini Indonesia telah menyuplai batu bara ke negara tersebut, namun jumlahnya masih rendah. Selama 2019, ekspor batub ara ke Vietnam sebanyak 14,9 metrik ton atau hanya 4 persen dari total ekspor pada tahun tersebut.
Asosiasi berharap ada tambahan permintaan dari negara tersbebut. Tahun lalu pengusaha melakukan penjajakan dengan menggandeng Kedutaan Besar Indonesia di Hanoi. Mereka menggelar Coal Forum yang dihadiri puluhan eksportir Indonesia dan pengguna batu bara asal Vietnam. "Jumat pekan lalu, kami juga webinar dengan Duta Besar Indonesia untuk Vietnam dengan beberapa perusahaan setempat," katanya.
Selain Vietnam, pengusaha juga mengincar peluang di Pakistan. Penjajakan telah dilakukan dengan delegasi pebisnis asal negara tersebut saat mereka bertandang menemui APBI. Bangladesh, Taiwan, hingga Srilanka pun menjadi sasaran.
Hendra berharap dapat menjalin kerja sama dengan negara-negara tersebut untuk membantu penyerapan produksi nasional. Sejak Covid-19 merebak, permintaan global menurun terutama usai karantina wilayah di Cina, India, dan Filipina. "Ekspor batu bara termal Indonesia paling merasakan dampaknya mengingat sekitar 65 persen dari ekspor Indonesia adalah di tiga negara tersebut," ujarya.
<!--more-->
Harga batubara juga tak kunjung membaik sepanjang tahun ini. Harga Acuan Batubara (HBA) pada Juni dan Juli berada di level US$ 50 dolar per metrik ton. Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir menyatakan perlu ada pemotongan produksi hingga 50 juta ton untuk mengendalikan harga di pasar dari target produksi tahun ini yang sebesar 595 juta ton.
"Dengan kondisi permintaan yang masih belum membaik, para produsen besar anggota APBI telah berencana memotong produksi 15-20 persen dari rencana awal," katanya.
Namun kebijakan tersebut nampaknya tak menarik bagi PT Bumi Resources Tbk. Direktur dan Sekretaris Perusahaan emiten berkode BUMI itu, Dileep Srivastava, menyatakan perusahaan tak berniat menurunkan target produksi. "Tidak ada perubahan panduan produksi tahun ini," ujarnya.
BUMI menargetkan produksi sebanyak 85 juta hingga 90 juta ton tahun ini. Dileep menyatakan produksi anak usahanya yaitu PT Kaltim Prima Coal tetap di kisaran 60-65 juta ton sementara PT Arutmin Indonesia sebanyak 28-30 juta ton.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sujatmiko menyatakan volume ekspor batubara hingga Mei 2020 turun 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angkanya turun dari 193,82 juta ton menjadi 175,15 juta ton. Sementara nilainya turun 18 persen dari US$ 9,46 miliar menjadi US$ 7,77 miliar.
Kondisi tersebut mendorong pemerintah untuk membantu pengusaha menjajaki pasar ekspor baru. Sujatmiko menuturkan pihaknya telah mencoba kerja sama dengan Kedutaan Besar Indonesia yang berada di Bangladesh, Brunei Darussalam, serta Srilanka. "Kami akan G to G, semacam investor promotion," ujarnya.
VINDRY FLORENTIN