Pemerintah Batasi Kuota Produk Impor dari Australia
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 7 Juli 2020 04:48 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Kepabeanan Internasional & Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea & Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Syarif Hidayat mengatakan Perjanjian Kemitraan Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) bertujuan untuk meningkatkan perdagangan kedua negara. Meski begitu, Syarif mengatakan pemerintah akan menerapkan tarif preferensi untuk mengawasi produk impor dari Australia.
Adapun tarif preferensi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.04/2020 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia. Dalam beleid itu, ada penerapan skema tarif-kuota atau tariff rate quota (TRQ), yaitu pengenaan tarif bea masuk berdasarkan jumlah kuota terhadap produk tertentu.
"Dalam PMK tersebut diatur bahwa untuk mendapatkan tarif preferensi, importir harus menyampaikan Surat Keterangan Asal (SKA) dari Australia yang menyatakan bahwa produk yang diimpor adalah barang berasal dari Australia," ujar Syarif kepada Tempo, Senin 6 Juli 2020.
Dasar pemberian tarif nantinya akan berdasarkan sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga penerbit di Australia yang berisi kuota untuk produk tertentu. Apabila barang impor yang jumlahnya tidak melebihi kuota dalam sertifikat TRQ, maka akan dikenakan tarif preferensi in-quota.
Sebaliknya, apabila impor melebihi kuota, tidak menggunakan sertifikat TRQ atau kuota tahunan skema TRQ, maka akan dikenakan tarif preferensi out-quota.
"Kami akan melakukan penelitian atas dokumen tersebut untuk memastikan penerbitan SKA sesuai dengan ketentuan yg disepakati dan barang dapat diberikan tarif preferensi," tutur Syarif.
Syarif berujar perjanjian IA-CEPA bersifat resiprokal, artinya pembukaan akses pasar tidak hanya untuk produk Australia ke Indonesia tetapi juga sebaliknya dari Indonesia ke Australia. Dengan adanya penerapan tarif nol persen bagi produk Indonesia, Syarif yakin tarif tersebut berpotensi bisa meningkatkan produk ekspor.
Director National Export Centre Arrbey Handito Joewono mencatat pada tahun lalu Indonesia hanya mampu mengekspor USD 2,3 miliar. Dengan angkat tersebut, Indonesia masih mengalami defisit US$ 3,2 milyar. Untuk itu, Handito mengatakan IA-CEPA patut diwaspadai karena bisa memperbesar defisit negara perdagangan Indonesia terhadap Australia. Namun, liberalisasi perdagangan dan kerjasama ekonomi antar negara tidak bisa dihindarkan kalau ingin perekonomian lebih maju.
"Neraca perdagangan tidak hanya bicara besarnya impor, tetapi juga besarnya ekspor. Yang jadi perhatiannya sekarang antara lain adalah meningkatkan ekspor," ujar Handito.
<!--more-->
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani berujar perjanjian akan membuat Australia punya akses bebas dalam penetrasi pasar Indonesia. Untuk itu, kata dia, pemerintah harus mendorong reformasi kebijakan ekonomi nasional agar pelaku usaha nasional lebih efisien, produktif, dan berdaya saing menghadapi persaingan dagang.
"Kalu kita tidak memperbaiki iklim usaha nasional, kita bisa kalah saing karena iklim usaha dan investasi dalam negeri saat ini sangat tidak efisien dan kalah saing dibanding negara tetangga," ujar Shinta.
Ia juga mengatakan perlu ada kesiapan teknis di lapangan agar ada satu pemahaman dalam pelaksanaan dan klaim manfaat IA-CEPA oleh pelaku usaha di lapangan. Selain itu, ujar Sinta, juga perlu ada pengembangan kapasitas kepada eksportir nasional untuk memenuhi standar pasar Australia, khususnya untuk pelaku usaha berskala kecil hingga menengah.
"Mereka tidak akan bisa memanfaatkan IA-CEPA tanpa capacity building dan pendampingan yang kuat dan konsisten dari kementerian pembinanya," ujar Shinta.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan IA-CEPA berpotensi menyebabkan adanya lonjakan impor yang bisa berdampak pada neraca perdagangan dengan Australia semakin defisit. Menurut dia, perjanjian tersebut akan membuat Indonesia akan bergantung pada produk pertanian dan peternakan dari Australia.
“Ekspor yang dilakukan oleh Australia sangat spesifik, salah satunya fokus pada pertanian dan peternakan yang akan berdampak pada peternak dan petani dalam negeri,” ujar Bhima.
Dari sisi ekspor, Bhima menilai produk Indonesia masih terlalu terfragmentasi dengan kondisi pasar untuk kalangan menengah atas karena pendapatan per kapita yang tinggi. Dalam hal ini produk Indonesia belum berdaya saing dengan Australia, contohnya produk tekstil, kerajinan kayu, furnitur. Menurut dia, liberalisasi tanpa peningkatan daya saing hanya akan sia-sia. Ia juga melihat perjanjian dagang yang sudah ada sebelumnya hanya dimanfaatkan 35 persen.
“Artinya banyak pelaku usaha, bahkan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), tidak memahami apa manfaat dari perjanjian perdagangan bebas. Ini hanya akan menguntungkan korporasi besar,” ujar Bhima.
Kementerian Perdagangan menyebutkan IA-CEPA akan meningkatan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,23 persen dari baseline atau sebesar A$ 33,1 milyar bagi Indonesia, khususnya dari liberalisasi perdagangan (barang dan jasa). Selain itu, akan ada peningkatan investasi dari Australia di sektor pertambangan, pertanian terutama peternakan), dan sumber daya alam.