Santer Kabar Jokowi Ingin BI Awasi Bank, Begini Tanggapan Ekonom
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Jumat, 3 Juli 2020 13:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kabar bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi tengah mempertimbangkan agar pengawasan perbankan tak lagi di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melainkan kembali dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) ditanggapi negatif oleh sejumlah pengamat ekonomi.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, misalnya, mengatakan pengalihan wewenang pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK akan semakin memperburuk keadaan. Sebab, di tengah pandemi Covid-19, yang dibutuhkan lembaga dan pemerintah adalah konsentrasi dan kekompakan.
Berhembusnya kabar pembubaran lembaga dinilai malah akan merusak semangat kerja petugas di OJK. Apalagi, tenaga ahli perbankan sudah hampir tidak ada lagi di Bank Indonesia.
Hampir semua tenaga ahli perbankan, menurut Piter, sudah berada di OJK. “Mereka tidak bisa diombang-ambingkan oleh politik seperti ini, sangat tidak baik untuk upaya kita memulihkan perekonomian di tengah wabah,” katanya, Kamis, 2 Juli 2020.
Piter berpendapat kinerja OJK di tengah pandemi Covid-19 sudah cukup baik. Bahkan OJK dianggap cepat mengambil kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit dan sudah mampu menahan lonjakan rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan.
Kalaupun saat ini terjadi pengetatan likuiditas bank dan adanya perlambatan pertumbuhan kredit, menurut Piter, OJK tak bisa langsung disalahkan. Begitu juga bila pemerintah kecewa dengan kinerja OJK, hal itu tidak menjadi alasan yang tepat untuk membubarkan lembaga tersebut.
Pasalnya, saat ini, semua pihak sedang berperang melawan wabah pandemi yang membutuhkan konsentrasi dan juga sumber daya. “Rasanya terlalu kekanak-kanakan kalau pemerintah kemudian melakukan itu. Pembubaran lembaga sebesar OJK akan menghabiskan energi yang tidak perlu,” ucap Piter.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani. Ia mengatakan isu tersebut akan mengganggu stabilitas keuangan.
Terlebih, menurut Aviliani, pengalihan wewenang pengawasan dari OJK ke BI tidak begitu darurat. OJK pun masih bisa menangani sejumlah kasus dengan baik.
Di tengah perang melawan Covid-19 ini, kata Aviliani, seharusnya isu-isu tersebut bisa dihindari. Pemerintah pun diharapkan segera memberikan pernyataan resmi untuk meredakan isu yang ada. “Kita lagi sibuk Covid jadi situasi keuangan harus dijaga jadi tidak tepat kondisi sekarang buat statement yang mengganggu masyarakat."
<!--more-->
Lebih jauh, Aviliani menilai perubahan organisasi bukan merupakan hal yang mudah. Pengalihan wewenang dari OJK ke BI pun diperkirakan bakal membutuhkan waktu lama, apalagi jumlah pegawai OJK kini sudah banyak.
Aviliani menjelaskan, meskipun di beberapa negara, ada yang menggabungkan fungsi bank sentral sebagai pengawas perbankan, tetapi sebelumnya melalui kajian yang matang. Pengalihan wewenang ini membuat pemerintah harus mengatur ulang organisasi yang sudah besar sebagai makro prudensial yakni Bank Indonesia untuk bertindak juga di mikro prudensial. “Mengubah organisasi tidak mudah, butuh waktu lama,” katanya.
Sementara Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Lando Simatupang mengatakan pengembalian wewenang ke BI kemungkinan akan membuat percepatan penyelesaian pemulihan ekonomi nasional menjadi tidak tercapai. BI terpaksa harus memulai dari awal lagi, bahkan mungkin perlu upaya ekstra untuk benar-benar memahami fungsi OJK.
Oleh karena itu, menurut Lando, ketimbang mengembalikan wewenang pengawasan bank ke BI, sebaiknya kedua lembaga memperkuat kordinasi. “Koordinasi perlu lebih intens lagi agar kebijakan makro prudensial dan mikro prudensial bersinergi. Dengan demikian collaborative actions antar-lembaga, termasuk Kemenkeu dan lembaga lain menjadi jelas,” katanya.
Sebelumnya diberitakan bahwa pertimbangan Presiden Jokowi agar pengawasan perbankan kembali dilakukan oleh BI disebutkan sumber Reuters karena ketidakpuasan kepala negara atas kinerja OJK semasa pandemi Corona.
BI sebelumnya telah bertindak sebagai regulator dan pengawas perbankan di Indonesia hingga akhir 2013, sampai akhirnya OJK mengambil alih tugas tersebut. OJK sebelumnya didirikan dengan dasar Undang-undang Tahun 2011 untuk mengawasi kinerja lembaga keuangan.
"BI sangat senang dengan ini, tapi kemudian ada tambahan KPI (key performance indicator)-nya yaitu tak hanya menjaga nilai tukar dan inflasi, tapi juga pengangguran," ujar sumber Reuters. Hingga laporan ini ditulis, baik BI ataupun juru bicara Jokowi belum menanggapi kabar tersebut.
Namun sebelumnya Deputi Komisioner Humas dan Logistik, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo menyebutkan kabar tersebut tak jelas asal muasalnya. "OJK mengharapkan seluruh pegawainya tetap fokus dengan pelaksanaan UU dan berkonsentrasi untuk menjadi bagian penanganan Covid-19 yang dibutuhkan oleh masyarakat," kata dia melalui keterangan tertulis, Kamis malam, 2 Juni 2020.
Harapan OJK dan pemerintah untuk saat ini, kata Anto, adalah dapat menggerakkan sektor riil. Namun upaya mendorong pergerakan sektor riil tak boleh melupakan bagaimana implikasinya terhadap kesehatan perbankan.
Sebelumnya Jokowi dalam rapat kabinet 18 Juni 2020 menyatakan ketidakpuasannya akan kinerja kementerian dan lembaga yang tidak satu rasa dalam mengatasi krisis akibat pandemi ini. Dalam video berdurasi 10 menit itu Jokowi juga menyebutkan tak segan-segan akan melakukan perombakan kabinet atau membubarkan lembaga negara.
BISNIS