Utang Luar Negeri 5.652 Triliun, Bagaimana Dampak ke Rupiah?
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 16 Juni 2020 10:08 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Amir Uskara meminta pemerintah memberikan perhatian serius pada pertumbuhan utang luar negeri Indonesia. Pasalnya, ia melihat ada anomali, yakni ketika utang swasta secara tahunan tumbuh minus 4,2 persen secara tahunan pada bulan April 2020, utang pemerintah masih tumbuh positif 1,6 persen di periode yang sama.
"Kami melihatnya risiko utang pemerintah juga berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar rupiah. Pada saat pelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) rupiah kembali mengalami pelemahan dan berakibat pada beban utang yang meningkat," ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan itu dalam keterangan tertulis, Selasa, 16 Juni 2020.
Apalagi, kata Amir, saat ini situasi pandemi di dalam negeri yang belum membaik, dan secara global di Amerika Serikat angka positif Covid-19 telah mencapai 2 juta orang. "Tentu ini akan berdampak terhadap pemulihan ekonomi yang tidak pendek, butuh waktu yang agak lama."
Ia berpendapat meskipun utang luar negeri dibutuhkan untuk stimulus perekonomian, tapi pemerintah perlu memperhatikan beban pembayaran bunga yang harus di antisipasi. Sebab, bunga utang Indonesia relatif tinggi dibandingkan negara lain di Asean. Padahal, inflasi di Tanah Air relatif rendah. "Jangan sampai utang lebih menguntungkan kreditur asing. Tercatat imbal hasil utang atau yield tenor 10 tahun mencapai 7,4 persen per 15 juni 2020," tutur Amir.
Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk mengoptimalkan pembiayaan ULN dan mencari alternatif pembiayaan yang lebih murah. Sementara itu, utang harus digunakan untuk belanja yang benar-benar produktif dan bisa menggerakkan ekonomi masyarakat di saat pandemi masih berlangsung.
Sebelumnya, Data Bank Indonesia memperlihatkan utang luar negeri Indonesia per April 2020 mencapai US$ 400,2 miliar atau sekitar Rp 5.651,9 triliun (dengan kurs Rp 14.155,72 per dolar AS). Angka ini naik 2,9 persen year on year dipicu oleh peningkatan utang pemerintah.
Utang luar negeri ini terdiri atas utang sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar US$ 192,4 miliar atau sekitar Rp 2.723,6 triliun dan dan utang sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 207,8 miliar atau sekitar Rp 2.944,7 triliun.
<!--more-->
Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko menjelaskan, utang luar negeri atau ULN per April 2020 ini naik 0,6 persen ketimbang bulan sebelumnya. "Hal itu disebabkan oleh peningkatan utang publik," kata Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko dalam keterangan resminya, Senin, 15 Juni 2020.
Onny menjelaskan utang luar negeri pemerintah tercatat senilai US$ 189,7 miliar atau sekitar Rp 2.684,2 triliun. Angka tersebut tumbuh 1,6 persen (yoy), berbalik dari kondisi bulan sebelumnya yang terkontraksi 3,6 persen (yoy).
Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh arus modal masuk pada Surat Berharga Negara (SBN), dan penerbitan Global Bonds pemerintah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan pembiayaan. Termasuk di antaranya untuk penanganan wabah Covid-19.
Adapun nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi bergerak menguat dipicu kebijakan stimulus baru oleh bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed). Pada pukul 09.33 WIB, rupiah menguat 47 poin atau 0,34 persen menjadi Rp 14.068 per dolar AS dari sebelumnya Rp 14.115 per dolar AS.
Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston di Jakarta, Selasa, mengatakan kebijakan The Fed dini hari tadi yang mengeluarkan kebijakan stimulus baru untuk membantu perusahaan AS melewati pandemi menjadi sentimen negatif bagi dolar. "Kebijakan ini terlihat mendorong pelemahan dolar AS karena mendorong kenaikan likuiditas dolar AS," ucapnya.
The Fed baru saja meluncurkan program pembelian obligasi perusahaan AS di pasar sekunder dengan anggaran hingga US$ 750 miliar. "Stimulus bank sentral AS ini pun memberikan sentimen positif ke aset berisiko," kata Ariston.
Ia memperkirakan rupiah hari ini masih akan bergerak di kisaran Rp 14.000 per dolar AS dan potensi pelemahan ke Rp 14.150 per dolar AS. Pada Senin kemarin, rupiah menguat 18 poin atau 0,13 persen menjadi Rp 14.115 per dolar AS dari sebelumnya Rp 14.133 per dolar AS.
BISNIS | ANTARA